Jumat 19 Jul 2019 02:30 WIB

Tren Obat Hewan Berbahan Herbal Tekan Penggunaan Antibiotik

Tren obat hewan berbahan herbal di Indonesia semakin digandrungi.

Hasil survei menunjukkan hewan piaraan dan ternak di Australia memiliki resistensi rendah terhadap obat-obatan penting.
Foto: abc
Hasil survei menunjukkan hewan piaraan dan ternak di Australia memiliki resistensi rendah terhadap obat-obatan penting.

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Tren penggunaan obat hewan berbahan herbal di Indonesia semakin digandrungi dan secara langsung menekan penggunaan antibiotik pada hewan beberapa tahun terakhir.

Ketua Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI), drh. Andi Wijanarko di Palembang, Kamis (18/7), mengatakan bahwa pemakaian antibiotik menyebabkan resistensi antimikroba (AMR) telah menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan kesehatan masyarakat, hewan dan lingkungan, sehingga harus dikurangi penggunaannya.

"Kementerian Pertanian sudah mengeluarkan Permentan Nomor 14 Tahun 2017 tentang klasifikasi obat hewan yang melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan, pelarangan itu bagian dari konsentrasi kami beberapa tahun terakhir," ujar drh. Andi .

Dengan Permentan itu, dampaknya dokter-dokter hewan dan peternak lebih melirik obat-obat herbal sebagai pengganti antibiotik, tren tersebut membantu pemerintah dalam mengendalikan ancaman resistensi antimikroba.

Seperti sektor peternakan unggas, para peternak di Indonesia mulai memanfaatkan obat herbal untuk mengurangi antibiotik yang berlebihan pada ayam karena khawatir mengakibatkan resistensi jika pemberian tidak sesuai aturan, juga menimbulkan residu pada produk daging atau telur yang dihasilkan dan berbahaya jika dikonsumsi terus menerus dalam jangka waktu lama.

Menurutnya obat herbal yang mengandung bahan dasar tumbuh-tumbuhan seperti probiotik, dianggap lebih aman untuk peternakan seperti sapi dan ayam, tren penggunaan juga mendorong perusahaan-perusahaan obat hewan mengembangkannya serta memproduksinya secara massal.

Namun penggunaan obat hewan tetap harus mengikuti resep dokter dan obatnya mesti dipastikan telah teregistrasi oleh ASOHI, jika tidak terdaftar maka dianggap obat ilegal.

"Semua obat hewan tetap harus didaftarkan agar diketahui mutu khasiat dan keamanannya, untuk mendaftarkannya pun mudah sebenarnya," lanjutnya.

Ia menerangkan setidaknya sudah 10.000 lebih merek obat hewan yang teregistrasi oleh ASOHI hingga tahun 2019, sebagian besar masih didominasi obat berbahan kimia.

"Obat-obat yang belum terdaftar sedikit sekali jumlahnya, mungkin obat-obat untuk hewan peliharaan yang penggunaannya jarang, tapi tetap saja kami dorong agar diregistrasi," tambahnya.

Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan, kata dia, sudah berkolaborasi menyosialisasikan pengurangan antibiotik pada hewan, sehingga ia berharap peternak atau pegiat hewan yang masih menggunakan antibiotik agar berhenti menggunakannya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement