REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, Nurdin Basirun atas dugaan korupsi izin lokasi rencana megaproyek reklamasi Gurindam 12 di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menuntut agar kasus tersebut diusut secara tuntas.
Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat total dana yang dibutuhkan untuk proyek tersebut mencapai Rp 886 miliar atas pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Lebih rinci, anggaran khusus yang dikucurkan untuk proyek reklamasi ini sebesar Rp 487,9 miliar pada 2018, Rp 179 miliar pada 2019, dan Rp 220 miliar pada 2020. Padahal, proyek reklamasi itu tidak masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016-2020.
Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, meminta KPK mengusut tuntas kasus tersebut dimulai dari unsur pemerintah, pengembang, sekaligus sejumlah perusahaan yang terlibat dalam pertambangan pasir di kawasan ini. “Banyak pihak terlibat dalam kasus ini. KPK jangan membiarkan satu pihak pun lolos. Semuanya mesti disanksi, mulai dari Gubernur sampai dengan perusahaan pengembang dan penambang pasir,” ungkapnya.
Ironisnya, lanjut Susan, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau tengah mendorong pengesahan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) untuk dibahas di Paripurna DPRD Kepri. Dalam draf Perda RZWP3K tersebut, ada beberapa pihak yang mengajukan izin pemanfaatan laut untuk proyek reklamasi agar diakomodir di dalam RZWP3K.
Lebih lanjut, Susan menyebut sejumlah perusahaan yang selama ini terlibat dalam aktivitas reklamasi di Kepulauan Riau. Di antaranya PT Guna Karya Nusantara, PT Mitra Tama Daya Alam Bintan, PT Bukit Lintang Karimun, PT Kim Jaya Utama, PT Indospora Bumi Persada, PT Yuliana Jaya, PT Combol Bahari Perkasa, PT Merak Karimun Lestari, dan PT Sarana Trans Sejahtera. “KPK harus memeriksa semua perusahaan ini,” kata dia.
Di sisi lain, KPK juga harus mengambil sikap tegas kepada oknum yang turut tertangkap tangan, yaitu Edy Sofyan selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemprov Kepri dan Budi Hartono sebagai Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP Pemprov Kepri. “KKP dan DKP adalah rumah bagi nelayan dan perempuan nelayan Indonesa. Dengan terlibatnya kepala Dinas Kelautan Perikanan Pemprov KEPRI dalam OTT ini sebenarnya menjadi preseden buruk bagi Indonesia," kata dia.
"KKP sibuk menangkap pencuri ikan di laut Indonesia, pada saat bersamaan, kedaulatan kita juga dicuri dari dalam oleh oknum-oknum di dalam rumah kita sendiri. Laut dijual beli untuk kepentingan segelintir oknum, ini harusnya menjadi catatan bagi KKP khususnya," katanya menambahkan.
Susan menyampaikan, praktik reklamasi di Kepulauan Riau bukanlah hal baru. Faktanya, telah sejak lama, sejumlah pihak di provinsi ini terlibat penjualan pasir untuk proyek reklamasi di Singapura. Sepanjang 24 tahun (1978-2002) praktik pengerukan pasir telah menimbulkan banyak kerugian, bukan saja aspek teritorial tapi juga ekonomi, perdagangan dan lingkungan hidup.
Belajar dari kasus reklamasi Kepulauan Riau, Kiara meminta KPK memeriksa seluruh proyek reklamasi di Indonesia yang tercatat lebih dari 40 lokasi di kawasan pesisir Indonesia. Pada 2018, Kiara mencatat jumlah proyek reklamasi tersebar di 41 kawasan pesisir Indonesia.
"Ada banyak persoalan dalam proyek ini, mulai dari penyuapan, pelanggaran hukum, perusakan lingkungan, penghilangan mata pencaharaian nelayan, pencemaran laut, dan lain sebagainya. Dengan kewenangannya, KPK harus memeriksa seluruh proyek ini," katanya.