Kamis 11 Jul 2019 06:23 WIB

Rekonsiliasi dan Godaan Keluar dari Oposisi

Hilangnya oposisi dinilai sebagai bencana demokrasi.

Rep: Arif Satrio Nugroho, Febrianto Adi Saputro/ Red: Karta Raharja Ucu
Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno bersama para partai koalisi  memberikan keterangan terkait putusan MK tentang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2019 di Kertanegara, Jakarta Selatan, Kamis (27/6).
Foto:
Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (tengah) bersama tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) memberikan keterangan kepada wartawan di kediamannya di Kertanegara, Jakarta, Rabu (8/5/2019).

Pakar hukum tata negara dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof Juanda, mengatakan, meski secara tekstual konsep oposisi tak ada dalam model pemerintahan presidensial seperti yang dianut Indonesia, fungsi oposisi tetap harus dijalankan.

"Tanpa oposisi, tidak ada pihak yang menjalankan mekanisme check and balances. Sulit kita menjalankan check and balances kalau semua pihak bersatu dengan pemerintah. Siapa yang akan melakukan check and balances? Balances itu kan penyeimbangan, sudah sangat berat sebelah nanti maka akan memunculkan tiranisme baru," kata Juanda.

Bila partai pendukung Prabowo-Sandi, seperti Demokrat, PAN, dan Gerindra bergabung dengan koalisi pemerintahan, oposisi akan menjadi lemah. Oposisi yang lemah bermuara pada lemahnya mekanisme check and balances. Tanpa check and balances, kekuasaan akan mengarah kembali pada konsep otoriter yang disebut Juanda sebagai tiranisme baru tanpa adanya koreksi kebijakan.

Juanda pun menyarankan agar partai-partai pendukung Prabowo-Sandi tetap berada di pihak oposisi. Ia menyayangkan bila ada partai-partai yang bermanuver secara pragmatis mengais kursi di kabinet. Juanda pun menilai akan lebih terhormat bila partai pendukung Prabowo-Sandi lebih memilih jalur oposisi.

"Saya kira akan sangat terhormat bila partai-partai pendukung Prabowo-Sandi tetap konsisten, menjadi penyeimbang dalam pemerintahan, untuk demokrasi Indonesia yang sehat," kata Juanda.

 
photo
Presiden PKS Sohibul Imam mendampingi Capres 02 Prabowo Subianto.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera memang mengajak seluruh partai eks Koalisi Indonesia Adil Makmur untuk sama-sama mengambil bagian menjadi oposisi. Pasalnya, kerja sama yang terjalin selama proses pilpres 2019 di klaim telah menciptakan kecocokan di antara mereka.

"Ayo, semua rekan-rekan koalisi 02 kita sudah bubar, kita bertransformasi jadi kaukus. Kita sama-sama bangun negeri ini walaupun jadi oposisi, tapi tetap itu pekerjaan yang mulia," kata Mardani, Senin (1/7).

Namun, pernyataan Mardani sedikit berkontradiksi dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKS Mustafa Kamal. Mustafa mengatakan, PKS masih memiliki waktu yang cukup panjang dalam memutuskan koalisi hingga sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih pada Oktober 2019 mendatang.

PKS masih akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan pimpinan partai di daerah melalui musyawarah untuk menentukan arah koalisi. "Mudah-mudahan ada titik temu untuk membangun bangsa Indonesia ke depan dalam visi yang sudah kita bangun selama ini untuk Indonesia yang lebih baik," ujar dia.

Kendati demikian, Mustafa menegaskan, PKS tidak akan meninggalkan Prabowo. Dia juga berharap setiap parpol eks pengusung Prabowo-Sandiaga bisa tetap berada dalam satu koalisi. "Yang paling penting, koalisi yang sifatnya gagasan, bukan koalisi pragmatis dalam rangka pilpres dan membentuk pemerintahan," ujar dia.

Prabowo Subianto menyerahkan sepenuhnya kewenangan untuk menentukan langkah politik kepada masing-masing parpol pengusungnya, usai Koalisi Indonesia Adil Makmur resmi bubar satu hari setelah MK menolak permohonan tim hukum Prabowo-Sandiaga untuk seluruhnya. Pernyataan Prabowo ini seolah dianggap sebagai restu oleh sebagian parpol pendukungnya untuk menyeberang ke koalisi pendukung pemerintah.

 
photo
Jubir BPN 02 Dahnil Anzar Simanjuntak bersama Anggota tim Pemenangan Prabowo-Sandi menyampaikan keterangan di Kartenegara, Jakarta, Rabu (17/4).
Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno mengatakan, partainya belum menentukan arah politik. PAN baru akan menggelar evaluasi terkait hasil pilpres, termasuk menentukan arah koalisi, melalui rapat kerja nasional (rakernas) yang akan digelar pada akhir atau awal Agustus mendatang.

"Kita sajikan opsi-opsi yang ada, apakah opsinya itu kita berada di pihak oposisi, apakah kita berada di tengah sebagai penyeimbang, ataukah kita ada opportunityatau kesempatan bagi kita untuk bergabung. Apa pun opsinya, kita serahkan ke rakernas untuk memutuskan," katanya.

 
photo
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat (PD) Hinca Panjaitan.
Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan menegaskan, partainya akan mengumumkan arah koalisi pada pertengahan Juli ini. Dia menyatakan, partainya saat ini belum bisa membicarakan seputar koalisi lantaran masih dalam suasana berduka setelah meninggalnya istri Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Kristiani Herrawati (Ani Yudhoyono).
 
"Partai Demokrat masih berduka sampai nanti 40 hari (meninggalnya bu Ani) tanggal 10 Juli, setelah 10 Juli kami akan sampaikan ke teman-teman bagaimana sikap Demokrat," kata Hinca.

Hinca mengatakan, saat ini Partai Demokrat masih baru sebatas berkomunikasi di internal partai. Terkait keputusan soal pemilihan presiden dan wakil presiden adalah kewenangan majelis mahkamah partai yang diketuai oleh SBY. "Setelah ini, rapat majelis tinggi partai kita sampaikan di sana. Nanti majelis tinggi partai akan menyampaikan keputusannya," ujar dia.

Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengaku belum ada pembicaraan mengenai posisi Partai Gerindra pascapilpres 2019. Menurut dia, partai masih memiliki waktu cukup panjang untuk memutuskan.

"Kita masih punya waktu cukup panjang hingga sampai pelantikan sehingga proses ini akan terus berlangsung, sehingga insya Allah pertemuan itu juga akan terus saudara-saudara (media) akan ikuti semua," kata Muzani.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement