REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Satgas Pangan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Daerah Jawa Timur membongkar perdagangan daging sapi dan kerbau yang tidak memenuhi sanitasi pangan. Wakil Direktur Ditreskrimsus Polda Jatim, AKBP Arman Asmara mengatakan, pengungkapan kasus ini, adalah hasil penyidikan Tim Satgas Pangan Polda Jatim, bekerja sama dengan Dinas Peternakan Provinsi Jatim.
Dari kasus ini polisi menetapkan seorang tersangka berinisial SWR. Menurut Arman, SWR merupakan pemilik UD SMN, tempat penjualan daging impor yang beralamat di Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Selain mendistribusikan daging sapi dan kerbau impor asal Australia, perusahaan tersebut juga mendistribusikan daging lokal.
"Tersangka melakukan usaha penyimpangan distribusi daging sapi dan daging kerbau impor asal Australia, serta daging lokal yang tidak memenuhi sanitasi pangan," ujar Arman di Mapolda Jatim, Surabaya, Kamis (4/7).
Arman mengatakan, dari pengungkapan tersebut, polisi mengamankan sejumlah barang bukti. Antara lain 5.549 kilogram daging sapi impor, 740 kilogram daging kerbau impor, 1.000 kilogram kikil sapi lokal, dan tiga kepala sapi.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Dinas Peternakan Jawa Timur, Juliani Poliswari mengatakan, jika yang bersangkutan melakukan pelanggaran dengan tidak memiliki nomor kontrol veteriner (NKV). Padahal, kata dia, semua unit usaha produk asal hewan harus memiliki nomor kontrol veteriner tersebut.
"Jadi, ini tidak memenuhi syarat. Karena unit usaha produk hewan itu, ada yang bernomor kontrol veteriner itu bisa ada di'cold storage'-nya, dipengolahannya. Dan kalau disini kami mengaudit di cold storage-nya," kata Juliani.
Selain itu, daging impor tersebut belum mendapat rekomendasi dari Dinas Peternakan, Bidang Kesehatan masyarakat veteriner. Ditegaskan Juliani, NKV harus disematkan kepada produk makanan, khususnya impor. "Intinya, untuk penjaminan keamanan pangan. Jadi dasar untuk higenisanitasi," katanya.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 135 Jo Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan dengan ancaman pidana penjara dua tahun atau denda paling banyak Rp 4 miliar.