Selasa 02 Jul 2019 00:09 WIB

Pengamat Sarankan Jokowi tak Tambah Parpol Baru di Koalisi

Secara hitungan kursi parpol pendukung di DPR, Jokowi sudah unggul.

Penetapan Presiden dan Wakil Presdien Terpilih. Presiden dan Wakil Presiden terpilih Periode 2019-2024, Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin saat menuangkan air usai menerima surat keputusan di Gedung KPU, Jakarta, Ahad (30/6).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Penetapan Presiden dan Wakil Presdien Terpilih. Presiden dan Wakil Presiden terpilih Periode 2019-2024, Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin saat menuangkan air usai menerima surat keputusan di Gedung KPU, Jakarta, Ahad (30/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Iding Rosyidin menyebutkan tidak perlu ada penambahan partai lagi untuk tergabung dalam koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin. Secara hitungan kursi parpol pendukung di DPR, Jokowi sudah unggul.

"Kalau kita berbicara soal perspektif demokrasi, tapi menurut saya tidak terlalu penting (koalisinya) harus besar karena kalau oposisinya kecil, check and balances-nya kurang," ujar Iding saat dihubungi di Jakarta, Senin (1/7).

Partai Amanat Nasional (PAN) yang sejak awal menjadi partai koalisi Prabowo-Sandiaga, misalnya, menurut Iding, sebaiknya tak bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf Sedangkan Demokrat, Iding menilai sejak awal bergabung dalam koalisi Prabowo hanya untuk memenuhi persyaratan Prabowo untuk maju pada pencalonan Pilpres 2019.

"Kalau Demokrat kan meskipun dia di koalisi (Prabowo-Sandi), kemarin kan sekadar memenuhi persyaratan aja, tidak sepenuhnya kelihatan Demokrat itu," ucapnya.

Di sisi lain, secara hitungan kursi parlemen, koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin sudah unggul. Sehingga, penambahan partai koalisi tidak terlalu diperlukan.

Sementara itu, keputusan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk tetap menjadi partai oposisi dinilai Iding sudah tepat. "PKS itu kan dia kekuatan menengah. Sebetulnya PKS juga menurut saya bagus di oposisi dengan Gerindra dengan kemenangan calegnya yang lumayan 10 persen itu pencapaian tertinggi bagi PKS," jelasnya.

Namun, Iding menegaskan oposisi yang tepat adalah oposisi yang dapat memberikan kritik sekaligus solusi, bukan kritik yang terkesan nyinyir. Ia mencontohkan ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat Demokrat berkuasa, PDI-P sebagai partai lawan merupakan contoh oposisi yang dapat menjadi penyeimbang pemerintahan saat itu.

"Masalahnya tinggal bagaimana cara melakukan oposisinya. Nah kekeliruan Gerindra itu oposisinya cenderung asal kritik. Oposisi itu harus memilah isu apa yang pantas dikritisi dan tidak," ujarnya.

Terkait pentingnya peran oposisi dalam suatu pemerintahan, ia menjelaskan oposisi menjadi penting karena berfungsi sebagai penyeimbang dan kontrol kekuasaan supaya terhindar dari tindakan yang korup. "Di negara manapun dengan sistem otoriter, misalnya, pasti terjadi fenomena korupsi luar biasa karena tidak ada yang mengontrol," tuturnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement