Jumat 28 Jun 2019 17:35 WIB

Pengamat: AHY Bisa Hambat Parpol Terima Demokrat

Partai dalam koalisi Jokowi tentu tak ingin popularitas AHY meningkat.

Rep: Riza Wahyu Pratama/ Red: Ratna Puspita
[Ilustrasi] Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Istana Bogor, Rabu (22/5/2019).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
[Ilustrasi] Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Istana Bogor, Rabu (22/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Riset Populi Center Usep S Ahyat mengatakan Agus Harimurti Yudhoyono dapat mengganjal Partai Demokrat bergabung dengan koalisi Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin. Ia mengatakan partai-partai dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK) tentu tidak ingin popularitas komandan Satuan Tugas Bersama Demokrat tersebut meningkat untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Pada Pemilu 2024, Jokowi sudah tidak bisa lagi mengajukan diri sehingga akan ada calon baru dan peta politik yang berbeda. "Jelas menjadi hambatan bagi partai lain. Apalagi jika Demokrat bergabung dengan pemerintah akan mengurangi jatah menteri," kata Usep kepada Republika.co.id, Jumat (28/6).

Baca Juga

Namun, ia mengatakan, peluang Demokrat bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf tetap terbuka. Bagaimanapun, ia mengaakan, koalisi akan tetap memperhatikan kepentingan Jokowi menjalankan roda pemerintahan pada periode kedua, 2019-2024. 

"Bergabungnya Demokrat akan menjadikan stabilitas pemerintahan semakin kuat. Walaupun sebenarnya dalam periode kedua, Pak Jokowi tidak memiliki beban-beban (tersandera) kepentingan partai lain," ujar Usep.

Bagi Demokrat, Usep mengatakan, Demokrat juga membuka peluang pindah koalisi sejak awal. Beberapa kali, AHY melakukan silaturahmi ke Jokowi, yang terbaru pada Hari Raya Idulfitri silam.

Usep menambahkan, Demokrat memang berkepenttingan untuk bergabung dengan koalisi pemerintah. Ia menilai peran Demokrat di kubu oposisi tidak terlihat signifikan.

"Maskot dari oposisi kan lebih banyak di Gerindra dan PKS. Mereka mengalami peningkatan suara ketika berada di oposisi. Sedangkan Demokrat saya kira tidak terlalu menonjol," kata dia.

Secara umum, menurut Usep, perpindahan koalisi pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perselisihan hasil pemilihan umum presiden 2019 sangat mungkin terjadi. Bahkan, ia menilai, peta koalisi sangat mungkin berubah setelah MK menolak gugatan Prabowo-Sandi.

Usep mengatakan bentuk koalisi partai politik di Indonesia bukanlah koalisi permanen, melainkan berdasarkan kepentingan tertentu. Dalam konteks pilpres 2019, koalisi terbentuk hanya untuk mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

"Setelah itu sangat-sangat mungkin untuk berubah. Koalisi di perpolitikan kita itu tidak permanen, tidak ideologis. Lebih pragmatis untuk kepentingan tertentu, misalnya untuk pembentukan undang-undang atau kebijakan tertentu," kata Usep.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement