REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Massa aksi yang memenuhi Jalan Medan Merdeka Barat arah Patung Kuda mengaku kecewa. Kekecewaan itu lantaran mereka tidak bisa menggelar aksi di depan gedung Mahkamah Konstitusi menjelang putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), Kamis (27/6).
"Kecewa, Mas, kita mau mengawal MK tapi diblokade. Kita rakyat juga berhak dong datang ke MK," ujar salah satu pengunjuk rasa, Samsuri, saat ditemui wartawan.
Massa yang akan berunjuk rasa hanya bisa berkumpul di sekitar kawasan Patung Kuda hingga depan gedung Kementerian Pertahanan. Sementara, akses menuju gedung MK diblokade secara berlapis.
Lapis pertama menggunakan pagar beton dan kawat berduri dan lapis kedua diblokade menggunakan kendaraan taktis yang dilengkapi pagar besi. Pemblokadean itu dilakukan hingga jalur arah MK menuju Patung Kuda sehingga tidak ada massa yang bisa masuk ke area sekitar MK.
Konsentrasi massa pun terbagi menjadi dua bagian. Pertama, di area Patung Kuda dan sekitar blokade depan gedung Kemenhan. Massa yang akan berunjuk rasa itu telah datang ke Jalan Medan Merdeka Barat kawasan Patung Kuda sejak pukul 07.00 WIB.
Dalam tuntutannya, mereka meminta MK mengabulkan gugatan yang diajukan Prabowo-Sandiaga Uno. Mereka juga meminta MK mendiskualifikasi salah satu pasangan calon karena dituding telah melakukan kecurangan.
"Kita harus tuntut MK bahwa Paslon 01 telah melakukan kecurangan. Mereka harus mendiskualifikasi," kata pengunjuk rasa lainnya, Benny.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menegaskan, tidak ada izin untuk melakukan demonstrasi di sekitar Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan mengumumkan putusan sengketa pilpres pada 27 Juni. "Kalau ada demonstrasi, berarti tidak ada izin. Kalau tidak ada izin, polisi berhak membubarkan," katanya di kantor Kemenko Polhukam di Jakarta, Rabu (27/6).
Menurut Wiranto, apabila demonstrasi tersebut dilakukan, kepolisian dapat membubarkan aksi tersebut. Pembubaran bisa dilakukan karena sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum. "Ini semua ada di undang-undang, bukan polisi mengarang sendiri, itu saja yang sederhana. Kita tunggu saja," katanya.