Jumat 21 Jun 2019 09:45 WIB

Pengasuh yang Menjerumuskan Si Kecil

Saat si kecil terjerumus, warganet ada yang sibuk mempersoalkan gelombang hijrah

Reiny Dwinanda, wartawan Republika
Foto: Dokumen pribadi
Reiny Dwinanda, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*

Sedih rasanya melihat dua kasus pornografi anak yang mencuat belakangan ini. Kasus pertama terjadi di Bulukumba, Sulawesi Selatan, Kamis (13/6). Korbannya remaja usia sekolah menengah tingkat atas di provinsi yang akan menjadi tuan rumah peringatan Hari Anak Nasional 2019 pada 23 Juli mendatang.

Ya, mereka memang para pelaku, tapi sesungguhnya keduanya adalah korban. Betapapun, anak-anak kelas satu sekolah menengah kejuruan itu masih di bawah umur.

Mereka kabarnya telah dikeluarkan dari sekolah, dinikahkan, dan terpaksa keluar dari daerah tempatnya dibesarkan demi menata hidup baru. Dalam kacamata perlindungan anak, tentu pernikahan mereka yang belum cukup umur tidak dapat dibenarkan karena akan memancing banyak masalah lain. Namun, itulah jalan terbaik yang disepakati kedua keluarga.

Bagaimana kehidupan mereka sekarang? Saya tadinya berharap menemukan berita lanjutan yang mengabarkan keduanya beserta ayah ibunya masing-masing mendapat pendampingan dari petugas sosial. Mungkin Dinas Perlindungan Anak setempat rajin mengunjungi, membimbing, dan memastikan mereka tetap bisa bersekolah, terpenuhi hak-haknya sebagai anak.

Berita itu belum saya temukan hingga tulisan ini dibuat. Yang ada justru aib mereka semakin tersebar luas.

Rekaman video mesum yang mereka buat pada April, mendadak viral beberapa pekan terakhir. Menurut polisi, penyebar pertamanya tak lain remaja pria itu sendiri. Video yang semula beredar di kalangan kawan-kawannya melalui Whatsapp itu menyebar tak terkendali dua bulan kemudian.

Warganet seperti tak hendak membiarkan kedua anak itu hidup tenang. Terus saja ada yang mengunggahnya di media sosial.

Ah, kalau saja polisi cepat menguak pelaku yang mengunggahnya ke internet sebelum menjadi viral. Andaikan saja akun-akun penyebar pornografi itu cepat di take down, mungkin kita bisa memberikan kedua remaja yang salah jalan itu kesempatan kedua.

Itulah gelapnya dunia maya. Sekali termuat ke internet, jejaknya akan selalu ada.

Pedihnya lagi, sejumlah media massa daring ikut memberitakan secara vulgar baik dalam narasi maupun foto. Tentu, konsekuensi semacam ini tak terbayangkan ketika anak-anak tersebut melanggar norma agama dan kepatutan.

Belum lagi genap sepekan kasus itu ramai diberitakan, kabar miris datang dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Sepasang suami-istri mempertontonkan pelampiasan nafsu birahinya di depan anak-anak. Mereka mengutip bayaran berupa uang, kopi, atau mi instan.

Astaghfirullah...Bejat, bejat sekali. Saya kehabisan kata-kata untuk melaknat pasangan itu.

Tapi sesungguhnya, kesalahan juga ada pada pengasuh anak-anak tersebut, baik di kasus Bulukumba maupun Tasikmalaya. Siapakah yang mengasuh mereka selama ini? TV, Youtube, atau media sosialkah?

Mungkin sebenarnya banyak dari kita yang tak siap menjadi orang tua. Sebagai orang dewasa, kita tak bisa berkelit dari konsekuensi yang harus kita tanggung begitu memiliki anak, baik itu kelahiran terencana ataupun tidak.

Pengasuhan anak memang tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat, namun tugas utamanya terletak di pundak orang tua. Ketika kita membiarkan internet mengasuh anak-anak, jangan salahkan buah hati jika mereka terseret ke kelamnya dunia.

Kita belum terlambat untuk melindungi generasi penerus bangsa. Mumpung ada waktu, marilah kita sana-sama introspeksi diri. Sudahkah kita mengajarkan pendidikan seksualitas pada anak-anak sebelum mereka terpapar informasi dari luar? Sudahkah kita jadi rujukan pertama dan utama bagi anak ketika ada masalah? Sebagai seorang Muslim, sudahkah ananda paham mendekati zina pun dilarang, apalagi berzina? Sudahkah mereka tahu salah satu pintu surga terbuka bagi orang yang memanfaatkan masa remajanya di jalan Allah Swt?

Kalau saja mereka tahu itu, anak bujang dan gadis kita akan punya filter dalam bergaul maupun dalam memanfaatkan internet. Namun, akan sukar sekali menjadikan anak-anak saleh jika orang tuanya tak berbagi nilai yang sama.

Sementara itu, di kalangan orang dewasa menjadi baik juga susah, ternyata. Warganet justru sibuk mempersoalkan gelombang hijrah, demikian istilah yang disematkan kepada mereka yang mencoba hidup sesuai tuntunan Alquran dan sunnah. Kesalehan tentu harus dibangun tanpa harus mengolok mereka yang terseok menggapainya. Kesalehan itu juga harus dibangun kolektif agar dampak ademnya terasa.

Mencerca mereka yang tengah ramai dan semangat berhijrah bisa jadi kontraproduktif. Sebaliknya, mereka yang merasa sudah saleh juga harus peka terhadap yang merasa digurui atau dihakimi.

Kalau itu terus yang kita pertentangkan, mungkin kita harus berkaca. Jangan-jangan kitalah penghambat diri kita dan masyarakat kita menjadi baik, jadi orang baik. Na'udzubillahi min dzalik.

*Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement