Jumat 21 Jun 2019 04:32 WIB

Makar Menyasar Mantan Jenderal

Peraturan hukum terkait pidana makar sudah sejak lama menjadi kontroversi

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Nasir Djamil, Anggota Komisi Hukum dan HAM DPR RI FPKS

Kontestasi pemilihan  presiden yang saat ini masih menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi, menyisakan ironi kepada  anak bangsa yang pernah berjasa untuk negeri ini. Selain ratusan petugas pemilu yang merenggang nyawa,  demontrans yang tewas akibat ditembak saat berunjuk rasa, beberapa  mantan jenderal yang juga pendukung calon presiden Prabowo kini mendapat tuduhan berbuat makar. Adalah Kivlan Zein, Soenarko, dan Sofyan Yacob kini mendekam di rumah tahanan karena tersangka kasus makar.

Apa yang dialami ketiga mantan jenderal mengingatkan kita kepada  Sri Bintang Pamungkas, Muhammad Al Khathath, Rachmawati Soekarnoputri, dan Ratna Sarumpaet serta sejumlah nama lainnya.  Di akhir tahun 2016, mereka ditangkap dengan tuduhan terlibat pemufakatan jahat yaitu dugaan upaya makar dan akan menggelar aksi unjuk rasa pada  lima kota besar di Indonesia. Meskipun sempat ditahan dan akhirnya dibebaskan,  namun kasus mereka hingga kini belum jelas.

Meskipun polisi  mengatakan mengantongi bukti  terkait dugaan  makar Kivlan, Soenarko, dan Sofyan Yacob, banyak pihak  yang meragukan tuduhan itu. Apalagi latar belakang ketiga mantan jenderal itu bukan “jenderal kaleng-kalengan”. Mereka pernah menduduki posisi strategis di kesatuannya masing-masing dan menoreh jasa untuk republik ini.  Namun polisi tetap berkeyakinan bahwa mereka terlibat dugaan makar.

Persoalan peraturan hukum terkait pidana makar sebenarnya sudah sejak lama  menjadi kontroversi. Pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang  mengatur tentang tindak pidana makar ini terkadang dipandang sebagai alat untuk membungkam sikap kritis masyarakat dan politisi terhadap penguasa. Mungkin hal ini terjadi karena ketiadaan tafsir resmi mengenai pasal-pasal makar tersebut dalam KUHP, sehingga berpotensi dilanggarnya hak-hak demokrasi, khususnya dalam kegiatan unjuk rasa, berpendapat, ataupun berekspresi yang pada dasarnya dijamin oleh kontitusi dan Deklarasi Universal HAM PBB.

Hukum dan demokrasi ibarat dua sisi mata uang. Proses hukum yang berkeadilan adalah salah satu pilar demokratis. Hukum yang tidak berkeadilan adalah kekerasan yang diformalkan. Demokrasi tidak boleh membelenggu hukum. Begitu juga sebaliknya, hukum tidak boleh mengebiri dan membonsai demokrasi. Itulah sebabnya hukum dan demokrasi erat kaitannya dengan hak asasi manusia. Dalam kehidupan politik yang demokratis, setiap orang mempunyai hak bebas berbicara dan mengemukakan pendapat.  Kedua hak itu diterjemahkan dalam bentuk komunikasi politik yang merupakan darah bagi sistem politik yang demokratis. Ibarat darah dalam tubuh, maka ia  tidak boleh dikotori, dibekukan, apalagi ditiadakan. Membekukan  dan membungkam  hak warga yang  menyatakan gagasan melalui pembicaraan adalah bentuk otoritarianisme.

Pertanyaannya, dimana posisi makar jika kita kaitkan dengan hak asasi manusia dan sikap kritis terhadap penguasa dan institusi negara yang menyelenggarakan hajat hidup orang ramai. Sebenarnya, soal makar ini, banyak pihak yang mengujinya secara hukum ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menilai pasal-pasal tentang makar dalam KUHP bertentangan dengan prinsip negara hukum, jaminan kepastian hukum, kemerdekaan mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan, kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi. Makar yang kini kerap dijadikan senjata pamungkas untuk membungkam kelompok oposisi dinilai identik dengan apa yang pernah terjadi pada masa rezim Orde Baru (Orba).

Saat itu, Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi  (UU Anti Subversi) yang dinilai memuat pasal-pasal karet sehingga berpotensi melanggar hak asasi manusia. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat ketentuan bahwa seorang telah melakukan tindak pidana subversi apabila melakukan tindakan , antara lain; memutarbalikkan, merongrong atau menyelewengkan ideologi negara Pancasila atau haluan negara. Hal yang sama berlaku terhadap tindakan menggulingkan, merusak atau merongrong kekuasaan negara  atau kewibawaan pemerintah yang sah atau aparatur negara. Di awal reformasi, Undang-Undang ini akhirnya dicabut dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Tidak sedikit politisi dan tokoh masyarakat yang akhirnya dijerat dengan tindak pidana subversi karena menentang penguasa orde baru.

Pertanyaan yang hingga kini masih menggelayut di benak publik, benarkah para mantan jenderal ingin melakukan makar? Benarkah mereka telah memiliki niat atau kesengajaan untuk melakukan kejahatan dan sudah mulai berbuat jahat sehingga menjadi tersangka makar? Meminjam istilah almarhum Sutan Bhatugana (anggota DPR RI Fraksi Demokrat), Polisi dan jaksa tampaknya 'ngeri-ngeri' sedap dalam menangani pidana makar, sebelum  melimpahkannya  ke pengadilan. Sebab makar itu hukuman maksimalnya adalah kematian. Makar (aanslag) memiliki arti khusus dalam KHUP dan sebagai kata tersendiri tidak merupakan konsep hukum. Kata ini baru berarti apabila dikaitkan dengan suatu perbuatan yang dimaksud oleh pelakunya.

Makar akan berimplikasi pidana jika makar dengan maksud untuk membunuh Presiden (Pasal 104 KHUP); makar dengan maksud memisahkan sebagian dari wilayah negara (Pasal 106 KHUP); makar dengan maksud menggulingkan pemerintah (Pasal 107 KHUP); atau makar terhadap nyawa atau kemerdekaan (Pasal  40 KHUP). Pertanyaannya lagi apakah para mantan jenderal tersebut ingin melakukan sejumlah atau salah satu dari makar tersebut? Sangat sulit menjawabnya karena antara politik dan keamanan juga sulit dipisahkan. Semua masalah keamanan adalah masalah politik. Namun, tidak semua konflik politik adalah masalah keamanan. Bisa  jadi apa yang dilakukan  oleh para mantan jenderal itu adalah konflik politik yang tidak mengancam keamanan negara dan keselamatan seorang Presiden serta para menterinya. 

Konflik, terutama konflik politik dalam masyarakat demokratis harus dapat dikelola secara damai. Ia jangan ditarik menjadi perselisihan mengenai kebenaran dan kekalahan. Apalagi dengan cepat menggunakan pendekatan hukum.  Ia harus dikelola sehingga menjadi suatu konsensus bersama ataupun suatu aturan yang dapat diterima oleh semua pihak. Manusia memiliki perbedaan kepentingan satu dengan lainnya yang kadang-kadang perbedaan tersebut saling bertentangan. Dalam masyarakat yang demokratis setiap warga masyarakat  yang mempunyai perbedaan dengan pemerintah mempunyai mekanisme  untuk menyatakan sikapnya melalui proses dalam bentuk demosntrasi, mogok, memboikot serta tindakan-tindakan lain yang merupakan bentuk dari perbedaan sikap tersebut.

Sebagai insitusi dengan status sipil, polisi adalah bagian dari civil society.  Karena itulah di dalam kepolisian ada dua istilah yang ingin mendekatkan dan memasukkan korps berbaju coklat itu dalam kehidupan  masyarakat sipil. Kedua istilah itu adalah pemolisian masyarakat (polmas) dan pemolisian demokrasi. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi oleh kepolisian dalam masyarakat demokratis adalah bagaimana memelihara keseimbangan antara kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat  dengan mempertahankan  sikap tertib masyarakat  atau security approach. Membungkam  protes dengan alasan menganggu  ketertiban dan kestabilan  akan mengundang penindasan. Sebaliknya, membiarkan protes  dengan kekerasan akan menimbulkan anarkis sosial.

Kini hukum dan institusi penegak hukum menghadapi ujian antara demokrasi dan makar.  Publik sedang menanti apakah polisi mampu bertindak independen dan professional. Polisi dan Jaksa  akan menghadapi sejumlah  pertanyaan; siapa yang memimpin makar, peralatan apa yang digunakan untuk melakukan makar dan darimana diperolehnya, siapa saja yang terlibat  dan seberapa besar kekuatannya, berapa banyak personil yang akan dikerahkan, apakah para pembuat makar melibatkan angkatan darat, laut, udara , dan kepolisian, dan sejauh mana tindakan atau percobaan makar telah memenghasilkan akibat atau korban. Yang penting  dicatat bahwa  siapapun penguasanya, harus sadar bahwa pemerintah  ini dibentuk untuk melindungi segenap tumpah darah dan bangsa Indonesia. Penilaian yang keras dan berbentuk oposisi adalah hak rakyat untuk menuntut pertanggungjawaban dari rezim penguasa terpilih, dan itu  adalah hak asasi yang berlaku universal di negara-negara manapun di dunia.  Karena itu para jenderal purnawirawan yang disasar dengan pidana makar harus membuktikan bahwa mereka sebenarnya sedang menjalankan hak asasi yang paling mendasar sebagai warga negara. Semoga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement