Kamis 20 Jun 2019 04:30 WIB

Ujian Bagi Hong Kong

Cina dianggap mengganggu sistem hukum dan politik Hong Kong.

 Ani Nursalikah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ani Nursalikah*

Lautan manusia berpakaian hitam memenuhi jalanan Hong Kong. Sebuah video time lapse dari atas membuat lautan manusia itu tampak seperti koloni semut yang mengerubungi makanan.

Protes jalanan di Hong Kong tampaknya belum akan berakhir. Korban tewas kembali jatuh, yang terbaru adalah seorang pemuda jatuh dari gedung saat akan memasang spanduk protes. Meninggalnya pemuda tersebut makin membuat massa 'panas'.

Protes di Hong Kong kali ini merupakan yang terbesar sejak Inggris menyerahkan Hong Kong ke Cina. Tidak ada jumlah pasti berapa orang yang ambil bagian, namun jelas massa lebih banyak dari protes pekan lalu. Pekan lalu jumlah massa yang turun ke jalan lebih dari 500 ribu orang.

Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam memutuskan menunda pembahasan amandemen undang-undang ekstradisi. Lam berpendapat langkah berikutnya adalah berkonsultasi dengan berbagai pihak. Belum ada tanda-tanda kapan pembahasan akan kembali dilanjutkan.

Keputusan Lam itu justru membuat massa semakin marah. Pengunjuk rasa ingin RUU itu dibatalkan, bukannya ditunda. Massa yang terdiri atas berbagai kalangan, tua hingga muda khawatir hak dan kebebasan sipil mereka akan tergerus jika RUU ekstradisi lolos di parlemen.

Jika disahkan, RUU itu memungkinkan penduduk Hong Kong, warga Cina, dan warga asing di Hong Kong dikirim ke Cina daratan untuk diadili. Lam berargumen RUU tersebut bisa mencegah Hong Kong menjadi 'surga' bagi para kriminal.

Namun, para penentang beranggapan hukum itu akan memperketat cengkeraman Cina terhadap Hong Kong. Lam menduduki jabatan pemimpin eksekutif karena ditunjuk oleh sebuah komite di Cina.

Di lain sisi, kekerasan yang terjadi di jalanan perlu segera diakhiri. Rabu lalu, protes pecah menjadi bentrokan dengan polisi.

Sekitar 80 orang terluka, termasuk 22 polisi. Polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan kerumunan. Sejumlah video menunjukkan polisi menyemprotkan gas air mata tepat ke wajah demonstran dan memukuli mereka dengan tongkat.

Kini tuntutan massa bergeser, bukan hanya ingin RUU ekstradisi ditarik, mereka juga menuntut Lam mundur dari jabatannya. Namun, apakah kemarahan publik disebabkan pengaruh Cina yang kerap mencampuri urusan Hong Kong?

Bernhard Bartsch dari Bertelsmann Foundation mengatakan kepada DW, unjuk rasa bukan hanya semata-mata karena RUU ekstradisi, tetapi soal ketidaksetujuan terhadap Cina selama beberapa tahun terakhir. Aktivis prodemokrasi berulang kali mengkritik Cina karena mengganggu sistem hukum dan politik Hong Kong.

Pada 2014, misalnya, pengumuman Cina yang akan melakukan seleksi awal kandidat pemimpin Hong Kong memicu lebih dari 100 ribu orang menduduki sejumlah tempat. Protes itu dikenal dengan 'Gerakan Payung' karena massa menggunakan payung kuning untuk melindungi diri dari polisi.

Pemerintah Cina tentu saja tidak menerima tentangan terhadap otoritasnya. Di Cina daratan, hampir mustahil menemukan pemberitaan mengenai protes di Hong Kong.

Berita utama Kamis lalu fokus pada kunjungan Presiden Cina Xi Jinping ke Kyrgyzstan. Banyak pengguna Wechat tidak bisa mengirim foto dan video protes. Sina Weibo memblokir epncarian terkait protes.

Sedangkan Telegram melaporkan diserang DDoS dengan alamat IP kebanyakan berasal dari Cina. Semua sensor ini menyebabkan kevakuman berita dan membuat warga Cina tidak semuanya sadar tentang protes yang terjadi di Hong Kong.

Protes di Hong Kong adalah sebuah hal yang sah berdasarkan kebijakan 'satu negara, dua sistem'. Keinginan rakyat Hong Kong bisa menjalankan pemerintahannya tanpa bayang-bayang kekuasaan Cina masih jauh untuk terwujud. Dan Hong Kong masih melalui ujian demokrasi.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement