Selasa 18 Jun 2019 10:41 WIB

Ada Pemangkasan Orang Saleh di KPK?

Bahasa ‘Radikalisme' bisa dipakai untuk menegasikan mereka yang teguh beragama

Fitriyani Zamzami
Foto: dok. Pribadi
Fitriyani Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fitriyan Zamzami*

Pendaftaran calon pimpinan (capim) KPK periode 2019-2023 sudah mulai dibuka sejak Senin (17/6) kemarin. Artinya, siapa juga anak-anak bangsa yang merasa diri kompeten dan punya bekal mumpuni memimpin lembaga antirasywah dinantikan kesediaannya mencalonkan diri.

Yang perlu diketahui, tahun ini proses seleksinya agak lain. Ketua Pansel KPK Yenti Ganarsih mengumumkan di Istana Kepresidenan bahwa kali ini Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) bakal dilibatkan menguji para pendaftar. Kata dia, hal itu sebab "pansel tidak mau kecolongan ada yang kecenderungan ke sana (radikalisme)".

Apa yang bakal diuji? Yenti mengindikasikan, bukan soal rekam jejak semata. Para calon pimpinan akan diuji secara "psikologis klinis" untuk menentukan potensi terpapar radikalisme. Barangkali, dalam bayangan pansel, ada jenis manusia yang memang punya sifat bawaan yang membuatnya lebih mudah terpapar radikalisme ketimbang yang lainnya.

Anggota Tim Pansel Capim KPK, Hamdi Muluk menjelaskan lebih jauh, bahwa hal ini diperlukan seturut asumsi bahwa radikalisme telah menyusup ke instansi-instansi negara seperti BUMN. Ia juga meminta bahwa inisiasi terbaru ini jangan ditanggapi macam-macam.

Ironisnya, justru kebijakan pansel itu menimbulkan macam-macam pertanyaan. Pertama dan utamanya, apa definisi "radikalisme" yang hendak dijauhkan dari para pimpinan KPK mendatang itu? Radikalisme keagamaan? Radikalisme sektoral? Radikalisme dalam memproses koruptor? Jika menengok paparan BNPT yang disebut Hamdi Muluk sebagai "satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas dan data tentang ideologi radikal", maka radikalisme ini tak jauh-jauh dari golongan di umat Islam.

Pertanyaan kedua, apakah benar kondisi bawaan psikologis seseorang bisa jadi indikasi kerentanan seseorang terpapar radikalisme? Sejauh ini, jawaban konklusif dari berbagai penelitian menegasikan asumsi tersebut. Menurut sejumlah peneliti dalam artikel "A Forensic Psychological Assessment of Terrorists: An Anti-Terrorism Approach for Radicalized Westerners (2015, Nova Southeastern University Florida) juga "Radicalization, Terrorism & Psychopathology (2019, University of Amsterdam)", gejala psikopatologis pada kalangan ekstremis ternyata tak berbeda dengan pada masyarakat kebanyakan. Sebaliknya, radikalisme justru paling kerap didorong keadaan dan persepsi soal ketiadaan keadilan dan maraknya penindasan.

Pertanyaan selanjutnya, soal penetrasi "radikalisme" di tubuh instansi negara, dalam hal ini berarti disertai asumsi termasuk KPK. Barang ini sedianya oxymoron. Karena jika golongan radikal dianggap sebagai mereka yang menentang negara, buat apa pulak dia orang cari makan di institusi kenegaraan?

Kecuali, dan di sini bahayanya, jika radikalisme diasosiasikan dengan kesalehan beragama tertentu. Jika radikalisme dipukul rata terhadap para pria yang menaikkan celana panjang di atas mata kaki dan menurunkan jenggot, atau para perempuan yang mengenakan pakaian yang lebih menutup aurat. Jika radikalisme disematkan bagi mereka yang lebih kerap menghadiri kajian dan tak pernah alpa shalat di masjid atau mushala. Jika radikalisme langsung ditudingkan pada mereka-mereka yang mengkritik sistem karena tak adil atau bertentangan dengan ajaran agama.

Merujuk sejumlah kawan yang sehari-hari bertugas meliput di KPK, golongan yang nampaknya "lebih saleh" ini memang bukan langka di antara pegawai KPK. Sejumlah pesohor KPK seperti mantan pimpinan Busyro Muqoddas, Abdullah Hehamahua, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan, juga terkenal dengan kesalehan mereka.

Mudah-mudahan, bukan ciri-ciri semacam itu yang dijadikan patokan radikalisme oleh Pansel Capim KPK nantinya. Sebab secara kinerja, sukar menemukan celah orang-orang di atas. Mereka juga terkenal dengan kesederhanaan dan keteguhan prinsip. Juru Bicara KPK, Febri Diansyah bahkan mengatakan, religiusitas akan jadi salah satu dari lima parameter utama bagi pihak internal KPK menentukan pimpinan yang layak.

Di sini perlunya transparansi. Pansel Capim KPK dan BNPT perlu secara terbuka mengumumkan definisi radikalisme mereka serta mengungkapkan bagaimana mereka menentukan potensi terpapar radikalisme para calon pimpinan KPK. Jangan sampai, metode penyisiran terbaru itu dipersepsikan sebagai dalih untuk membuat KPK lebih mudah dinetralisir, dianggap sebagai upaya menegasikan mereka-mereka yang teguh beragama di tubuh KPK. Karena buat mereka-mereka yang sehari-hari bakal berhadapan dengan ancaman penganiayaan bahkan pembunuhan saat menghadapi koruptor, saya meyakini, iman adalah bekal yang sangat penting.

*) Penulis adalah jurnalis Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement