Senin 10 Jun 2019 20:50 WIB

KPK Tetapkan Sjamsul Nursalim dan Istri Tersangka Kasus BLBI

Keduanya menjadi tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Israr Itah
Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif (kanan) dan Saut Situmorang (kiri) menggelar konferensi pers terkait tersangka baru kasus korupsi di Gedung KPK, Jakarta, Senin (10/6/2019).
Foto: Antara/Reno Esnir
Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif (kanan) dan Saut Situmorang (kiri) menggelar konferensi pers terkait tersangka baru kasus korupsi di Gedung KPK, Jakarta, Senin (10/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan obligor Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka. Keduanya menjadi tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI).

"Setelah melakukan proses penyelidikan dan ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka KPK membuka penyidikan baru terhadap pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di Gedung KPK Jakarta, Senin (10/6). 

Menurut Saut, penetapan tersangka pasangan suami istri yang telah menetap di Singapura ini berdasarkan hasil pengembangan perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung. Perbuatan Syafruddin diduga telah memperkaya Sjamsul dan Itjih sebanyak Rp 4,58 triliun.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menjelaskan, kasus ini bermula saat BPPN dan Sjamsul menandatangani penyelesaian pengambilalihan pengelolaan BDNI melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) pada 21 September 1998. Dalam MSAA tersebut disepakati bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajibannya baik secara tunai ataupun berupa penyerahan aset. 

Secara total, kewajiban Sjamsul selaku pemegang saham pengendali BDNI adalah Rp 47,258 triliun. Kewajiban tersebut dikurangi dengan aset sejumlah Rp 18,85 triliun, termasuk di antaranya pinjaman kepada petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun. 

"Aset senilai Rp 4,8 triliun ini dipresentasikan SJN seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah. Namun, setelah dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi," kata Syarif. 

Atas hasil FDD dan LDD tersebut, BPPN kemudian mengirimkan surat yang intinya mengatakan Sjamsul telah melakukan misrepresentasi dan meminta menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN tersebut. Namun Sjamsul menolak. Selanjutnya pada Oktober 2003, agar rencana penghapusbukuan piutang petambak Dipasena bisa berjalan, maka dilakukan rapat antara BPPN dan Pihak Sjamsul yang diwakili Itjih Nursalim serta pihak lain.

Pada rapat tersebut, Itjih menyampaikan Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi. Kemudian pada bulan Februari 2004, dilakukan rapat kabiner terbatas (Ratas) yang intinya BPPN melaporkan dan meminta pada Presiden RI agar terhadap sisa utang petani tambak dilakukan write off (dihapusbukukan) namun tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsul. Ratas tersebut tidak memberika keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap usulan write off dari BPPN.

"Setelah melalui beberapa proses, meskipun Ratas tidak memberikan persetujuan, namun pada 12 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung dan ITN menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir yang pada pokoknya berisikan pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur di MSAA," terangnya. 

Tak hanya itu, pada 26 April 2004, Syafruddin juga menandatangani surat mengenai Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul. Hal ini mengakibatkan hak tagih atas utang petambak dipesena menjadi hilang atau hapus. Pada 30 April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih hutang petambak PT DCD dan PT WM yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT. PPA). Pada tanggal 24 Mei 2007 PPA melakukan penjualan hak tagih hutang petambak plasma senilai Rp 220 miliar.

"Padahal nilai kewajiban SJN yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 triliun. Sehingga, diduga kerugian Keuangan Negara yang terjadi adalah sebesar Rp4,58 triliun," kata Syarif. 

Sjamsul dan Itjih disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim bila dipanggil dalam persidangan tidak perlu hadir atau in absentia. Sebab, KPK sudah menerima pendapat dari para ahli untuk hal tersebut.

"Yang bersangkutan kan permanen residen di sana, SN (Sjamsul Nursalim) itu, nanti kalau kita panggil yang bersangkutan  tidak hadir ya dengan in absentia, kami sudah mengundang beberapa ahli untuk memberikan pendapat," terangnya. 

Terkait mekanismenya, menurut Alex, jaksa yang mengerti detailnya. Namun, ia memastikan Sjamsul bisa tidak hadir dalam persidangan secara in absentia. 

"Kalau mekanisme detail saya belum tahu, JPU yang tahu, tapi intinya kalau yang bersangkutan dipanggil tidak hadir, entah karena kesehatan atau usia, dan itu dimungkinkan lewat hukum acara, untuk disidangkan secara in absentia," jelas dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement