Sabtu 01 Jun 2019 11:22 WIB

Ini Alasan Anies Hapus Operasi Yustisi

Operasi yustisi di Jakarta sudah tak dilakukan sejak tahun 2018.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andi Nur Aminah
Anies Baswedan kunjungi Korban Bentrokan di RS Tarakan. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat datangi keluarga korban meninggal di RS Tarakan, Jakarta Pusat, Rabu (22/5).
Foto: Fakhri Hermansyah
Anies Baswedan kunjungi Korban Bentrokan di RS Tarakan. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat datangi keluarga korban meninggal di RS Tarakan, Jakarta Pusat, Rabu (22/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah arus mudik dan arus balik Lebaran, fenomena pendatang baru di ibu kota menjadi hal tersendiri yang disorot Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Dengan alasan hak dan kesempatan warga negara yang sama, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengeluarkan kebijakan untuk menghapus operasi yustisi.

Menurut Anies, operasi yustisi di Jakarta sudah tak dilakukan sejak tahun 2018 lalu dan berlanjut pada 2019. Ia mengatakan, warga negara Indonesia mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mengadu nasib di kota manapun.

Baca Juga

Anies menjelaskan, selama ini operasi yustisi hanya menjaring kalangan bawah dan tak menyentuh kalangan atas. Padahal pendatang baru yang pergi ke Ibu Kota berasal dari berbagai latar belakang dari tingkat ekonomi atas hingga bawah.

"Kalau operasi khusus dalam praktiknya, tidak menahan mereka yang di atas. Yang ketangkap adalah yang di bawah, pasti," ujar Anies di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (1/6).

Anies mengatakan, pendatang baru itu hanya masalah catatan kependudukan. Bagi mereka yang ingin mencari pekerjaan di Jakarta tak memiliki keterampilan dan kompetensi, akan ditentukan sendiri oleh mekanisme lapangan kerja.

"Itu artinya. kalau tidak ada yang bisa ditawarkan (kompetensi) ya tidak ada serap tenaga kerja. Ya dengan sendiri mereka akan mencari tempat lain, nyatanya mereka butuh lapangan kerja jadi mau di Jakarta atau di mana," jelas Anies.

Menurut Anies, tak ada ledakan pendatang baru ke Jakarta usai arus mudik Lebaran tahun lalu. Ia pun memperkirakan hal serupa tak terjadi pada tahun ini.

Ia juga menyebut, dengan adanya pendatang baru ini tidak lantas menambah permasalahan di Ibu Kota Jakarta. Sebab, menurutnya, pendatang baru tak selalu lekat dengan masyarakat miskin. "Itu yang datang pasti miskin kan, asumsinya sudah begitu. Jadi kita seperti melarang yang di bawah untuk masuk Jakarta," kata Anies.

Sementara itu, berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mencatat, rata-rata pertambahan penduduk Pendatang Baru (PB) ke DKI Jakarta setelah Idul Fitri enam tahun terakhir sejumlah 67.132 jiwa atau kenaikan 6,86 persen per tahun.

Diperkirakan PB tahun 2019 sebanyak 71.737 jiwa. Kenaikan PB ini disebabkan arus balik yang berbarengan dengan kelulusan siswa, pencarian sekolah sampai kuliah baru, dan pencarian kerja bagi yang baru lulus dengan membawa sanak dibawa saudaranya.

Hasil survei Dukcapil dengan Lembaga Demografi UI 2014, menunjukkan bahwa alasan pendatang baru pascalebaran untuk mencari pekerjaan dengan sebesar 32,14 persen. Disebutkan dalam hasil registrasi penduduk 2018, alasan pendatang baru sebesar 33 persen karena pekerjaan dan mencari pekerjaan 22 persen.

Disusul dengan alasan ikut orang tua atau keluarga 21 persen, alasan sekolah 18 persen, dan alasan lainnya enam persen.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement