Rabu 29 May 2019 21:25 WIB

Tokoh Ini Surati PBB Agar Investigasi Kerusuhan Aksi 22 Mei

Diperlukan tim independen untuk menyelidiki dugaan kekerasan oleh aparat.

Rep: Bambang Noroyono, Umi Nur Fadhilah/ Red: Andri Saubani
Suasana pasca kerusuhan di sekitaran wilayah MH. Thamrin, Jakarta, Kamis (23/5/2019).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Suasana pasca kerusuhan di sekitaran wilayah MH. Thamrin, Jakarta, Kamis (23/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan tim ahli hukum dan hak asasi manusia (HAM) kasus Timor Timur Nicholay Aprilindo mendesak agar Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa  (HAM PBB) menurunkan para observer-nya mengungkap kerusuhan 21 dan 22 Mei di Jakarta. Nicholay mengatakan, dugaan praktik kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara dalam kerusuhan tersebut, membutuhkan tim penyelidikan yang lebih independen.

“Saya secara pribadi sudah mengirimkan surat ke Dewan HAM Internasional agar menurunkan timnya,” ujar Nicholay di Jakarta, Rabu (22/5).

Baca Juga

Nicholay sampai hari ini masih tercatat sebagai salah satu tim observer PBB yang ada di Indonesia. Ia pernah turun lapangan menyibak kejahatan kemanusian dan pelanggaran HAM yang terjadi di saat di Timor Timur pada 1999 silam.

Menurut Nicholay, apa yang terjadi pada 21, dan 22 Mei di Jakarta, terang adanya praktik kejahatan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Yaitu berupa penyiksaan dan pemukulan terhadap para pelaku kerusuhan. Menurut dia, meskipun para perusuh melanggar pidana, praktik main hakim sendiri oleh aparat negara adalah tindakan kesewenang-wenangan, dan pelanggaran HAM.

“Adanya pengakuan pelanggaran SOP (standar operasional prosedur) oleh Mabes Polri, itu menguatkan adanya indikasi pidana yang dilakukan oleh aparat,” kata dia.

Menurut dia, indikasi pidana tersebut dapat berujung pelanggaran HAM jika aksi penyiksaan dan pemukulan keji aparat terhadap para perusuh dilakukan dengan instruksi atasan. “Kalau itu (aksi penyiksaan dan pemukulan) dilakukan atas instruksi dari atasan itu pelanggaran HAM. Tetapi nggak mungkin itu dilakukan tanpa instruksi,” ujar dia.

Karena itu, Nicholay mengatakan, perlu adanya pengungkapan fakta oleh tim yang lebih independen dalam peristiwa kerusuhan tersebut.  Ia mengusulkan adanya keterlibatan PBB.

Nicholay pun ragu, Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Mabes Polri dalam pengungkapan kerusuhan 21, dan 22 Mei. Menurut dia, TPF tersebut tak efektif, dan hasilnya bakal bias.

“Bagaimana kalau saya yang dituduh melakukan kejahatan, tetapi saya sendiri yang menyelidiki kejahatan itu? Ya kan tidak seperti itu. Harus ada tim yang lebih independen. Dan itu kita usulkan ke PBB,” ujar dia.

Kerusuhan 21, dan 22 Mei di Jakarta menewaskan sedikitnya delapan warga sipil. Empat di antaranya tewas diterjang peluru. Dua dari yang meninggal dunia, berusia 15 dan 16 tahun.

Lebih dari 800 orang luka-luka akibat kerusuhan tersebut. Sebanyak 87 orang lainnya masih dinyatakan hilang. Kerusuhan 21, dan 22 Mei di Jakarta berawal dari aksi damai penolakan hasil Pilpres 2019, yang berakhir dengan kerusuhan antara sipil dan satuan elite kepolisian Brimob Nusantara.

Mabes Polri telah membentuk tim pencari fakta untuk menginvestigasi korban kerusuhan aksi 22 Mei 2019. Tim tersebut dipimpin langsung Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum).

“Tekait masalah korban. Wakapolri sudah susun tim pencari fakta, langsung dibawah pimpinan bapak Irwasum,” kata Karopenmas Divhumas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Kemenkopolhukam, Jakarta, Sabtu (25/5).

Dia mengatakan tim pencari fakta akan mulai bekerja pada Senin (27/5) mendatang. Tim itu memulai rapat, dan melakukan berbagai tindak lanjut dari rekomendasi hasil rapat. Dia memastikan tim tersebut melakukan investigasi secara komprehensif.

Kemudian, hasil investigasi tim itu akan disampaikan pada pimpinan dan masyarakat luas. “(Masyarakat) tunggu dulu. Mereka akan segera bekerja terkait kasus kerusuhan tangal 21-22 Mei,” ujar Dedi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement