Ahad 26 May 2019 06:48 WIB

Amnesty Dorong Investigasi Independen Ricuh 21-22 Mei

Perusuh maupun aparat yang bertindak di luar hukum harus diadili.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Teguh Firmansyah
Tersangka pelaku kericuhan dalam aksi 22 Mei ditampilkan dalam rilis di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (23/5/2019).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Tersangka pelaku kericuhan dalam aksi 22 Mei ditampilkan dalam rilis di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (23/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) meminta aparat kepolisian dan Komnas HAM bersama-sama melakukan investigasi independen dan menyeluruh atas segala bentuk pelanggaran HAM yang terjadi saat dan setelah aksi 22 Mei 2019 di Jakarta.

Amnesty Internasional Indonesia mengatakan, rentetan aksi kekerasan terjadi setelah demonstrasi pada 22 Mei dengan penyerangan asrama Brimob di Petamburan, Jakarta Barat. Setelah itu, korban berjatuhan dan total delapan orang meninggal. Beberapa di antaranya disebabkan oleh luka tembak dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat.

Baca Juga

“Para pelaku kekerasan, apakah itu berasal dari kepolisian maupun pihak-pihak dari luar yang memicu kerusuhan, harus diinvestigasi dan dibawa ke muka hukum untuk diadili," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Sabtu (25/5).

photo
Kericuhan pasca penetapan rekapitulasi KPU

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga telah menyebutkan bahwa terdapat tiga anak tewas pascaaksi 22 Meis. Harus ada investigasi mendalam dan menyeluruh untuk mengungkap fakta yang sebenarnya dan segera mengadili para pelaku.

“Indikasi pelanggaran HAM berupa perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia oleh aparat, saat menangkap terduga ‘perusuh’ di Kampung Bali, seperti yang terlihat dalam video yang viral di media sosial," lanjut dia.

Menurut Usman Hamid, video tersebut telah menunjukkan kepolisian gagal dalam menerapkan prinsip hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut adalah pelanggaran serius terhadap SOP kepolisian itu sendiri karena apapun status hukum seseorang, aparat tidak boleh memperlakukan ia secara kejam dan tidak manusiawi yang merendahkan martabatnya sebagai seorang manusia.

"Aparat yang melakukan pemukulan harus diadili dan dihukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tambah Usman.

Terkait kerusuhan pascaaksi 22 Mei, Amnesty International Indonesia sadar bahwa asrama Brimob telah diserang oleh sekelompok orang beberapa jam usai protes massal berakhir Selasa malam. Namun respons kepolisian terhadap serangan semacam itu tetap harus proporsional.

Jajaran kepolisian harus tetap menghormati kaidah-kaidah hukum hak asasi manusia. Kaidah ini tidak boleh dilupakan. Aparat dibenarkan untuk dapat menggunakan kekuatan, tetapi itu hanya jika benar-benar diperlukan dan harus bersifat proporsional.

“Jadi jelas terlihat adanya indikasi pelanggaran HAM yang terjadi setelah demonstrasi 22 Mei, oleh karena itu penting untuk memastikan Komnas HAM secara aktif terlibat dalam melakukan investigasi untuk mengumpulkan bukti-bukti dugaan pelanggaran HAM yang terjadi,” jelas Usman Hamid.

Amnesty International Indonesia juga menyayangkan bahwa Pemerintah Indonesia mengambil langkah menerapkan restriksi terhadap platform media sosial seperti Facebook, Instagram, Whatsapp dan Twitter selama beberapa hari setelah aksi 22 Mei.

Walaupun pembatasan tersebut telah dicabut oleh pemerintah per 25 Mei 2019, Amnesty International mengingatkan pemerintah bahwa langkah ceroboh tersebut adalah pelanggaran hak orang untuk mendapatkan informasi. Lebih besar lagi adalah pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement