REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo mengapresiasi kinerja TNI dan Polri yang telah melaksanakan pengamanan unjuk rasa 21-22 Mei 2019 secara humanis. Hermawan menilai aparat telah bekerja maksimal.
"Itu (pengamanan, Red) sudah maksimal. Saya dan para akademisi menganalisis aparat kita terlalu baik. Aparat cenderung takut kena (pelanggaran) HAM," kata Hermawan dalam siaran pers, di Jakarta, Sabtu (25/5).
Hermawan pun menyayangkan ketidaktegasan aparat yang memberikan perpanjangan batas waktu unjuk rasa hingga malam. "Menurut saya, kepolisian juga salah, mestinya dibubarkan saja saat massa sudah melewati batas waktu yang sudah ditoleransi pihak keamanan," katanya.
Menurutnya massa yang membuat kerusuhan, berbeda dengan massa aksi unjuk rasa. Karena, massa yang melakukan aksi unjuk rasa, jarang yang mampu bertahan lebih dari 12 jam berturut-turut.
"Dari pengalaman, orang demo tidak pernah bertahan lebih dari 12 jam. Pukul 8 pagi sampai pukul 22 malam itu sudah lelah," katanya.
Ia menambahkan, timbulnya kerusuhan pada malam hari di lokasi yang berbeda dengan saat dilaksanakan aksi unjuk rasa siang harinya menunjukkan bahwa kerusuhan tersebut sudah direncanakan. Hal itu terlihat dari banyaknya pelaku kerusuhan yang tertangkap polisi dan berasal dari luar kota Jakarta.
"Yang menarik bagi saya, orang daerah kalau ke Jakarta pasti bingung. Kita yang di Jakarta saja sering kesasar. Ketika dibubarkan oleh polisi, kok mereka bisa masuk ke gang-gang secara persis itu. Berarti dia sudah dikasih peta atau dilatih nanti kaburnya ke mana," katanya.
Pihaknya pun meminta TNI Polri untuk mengungkap aktor intelektual di balik kerusuhan Jakarta. "Saya sangat setuju orang-orang yang memprovokasi dengan (wacana) people power ditangkap," katanya lagi.