REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyelenggaraan Pemilu serentak 2019 meninggalkan banyak catatan. Pakar Hukum Tata Negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengatakan evaluasi pemilu serentak 2019 sudah harus segera dilakukan demi menyempurnakan pemilu di 2024.
Ia mengungkapkan setidaknya ada dua hal yang perlu dievaluasi. Pertama kerumitan pemilu serentak yang membuat pihak penyelenggara kewalahan. Kedua soal presidential treshold (PT) 20 persen terbukti telah membelah dua kubu politik masyarakat semakin tajam. PT 20 persen hanya memungkinkan dua pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden.
"Kalau saya mengusulkan evaluasi pemilu 2019 untuk pemilu 2024, ada baiknya kembali ke proporsional tertutup, dan hilangkan presidential treshold," kata Hamdan Zoelva kepada wartawan, Jumat (26/4).
Ia menerangkan keruwetan pemilu 2019 ini terbukti telah banyak membuat petugas kewalahan. Akibatnya sudah 225 orang KPPS meninggal dunia karena kelelahan. Hal ini dikarenakan proses perhitungan yang membutuhkan waktu cukup lama, karena perhitungan tidak dimulai dari TPS.
"Apalagi bila jumlah surat suara yang sudah dihitung tidak sama dengan jumlah DPT dan DPTb, petugas terpaksa harus menghitung kembali secara manual," ujar Hamdan.
Petugas juga tidak hanya mengalami kelelahan fisik, tetapi juga kelelahan mental dan psikis. Hal itu dikarenakan tekanan, yang sangat mungkin muncul di daerah dari pihak peserta pemilu. Apakah tekanan itu muncul dari tim pemenangan partai atau juga tim pemenangan calon presiden (capres).
Selain petugas, jelas Hamdan, kerumitan juga dijumpai masyarakat yang akan memilih. Karena jumlah surat suara yang banyak, dan pemilih harus mencari nama calon. Banyak pemilih yang akhirnya melewatkan hak suaranya di DPR dan DPRD. Mereka hanya mencoblos surat suara presiden, dan tidak mencoblos sama sekali untuk DPR, DPD atau DPRD, karena bingung.
"Pemilu Indonesia itu, pemilu paling rumit di dunia, dan pemilu 2019 adalah proses pemilu yang paling rumit yang pernah kita selenggarakan. Karena itu pemilu 2024 bagaimana caranya harus dibuat lebih sederhana," tegasnya.
Hal lain yang menjadi catatan pelaksanan pemilu 2019, lanjutnya, adalah terbelahnya hubungan sosial masyarakat karena hanya tersedia dua paslon yang saling berhadap-hadapan. Ini akibat dari PT 20 persen, tidak memungkinkan adanya capres lain yang muncul.
"Karena itu saya usulkan PT 20 persen ini dihapus untuk pencalonan presiden di pemilu 2024, agar banyak capres yang muncul dan dinamika politik tidak terpecah dalam dua kubu yang berhadap-hadapan seperti sekarang," imbuhnya.
Selain itu, ia mengusulkan agar dipisah antara pemilu nasional, yang memilih presiden, DPR dan DPD dengan pemilu daerah yang memilih gubernur, bupati/wali kota dan DPRD. Pemilu nasional, menurutnya harus diselenggarakan terpisah dengan pemilu daerah, tidak dilaksanakan dalam satu hari.
Untuk pemilu nasional, khusus memilih DPR, ia mengusulkan kembali ke proporsional tertutup. Dengan sistem ini, pemilih hanya memilih gambar partai tidak perlu menghafal nama-nama caleg. Penentuan nama-nama caleg diserahkan ke masing-masing partai, dengan catatan partai politik harus melakukan transparansi kepada masyarakat bagaimana proses rekrutmen, siapa calegnya dan kenapa caleg tersebut yang terpilih.
"Saya yakin kalau pemilu kita kembali ke sistem proporsional tertutup, dengan catatan transparansi di partai dan hilangkan ambang batas presiden, pemilu kita di 2024 akan lebih sederhana dan lebih baik dari pemilu 2019," ungkapnya.