Jumat 26 Apr 2019 06:03 WIB

Menggali Hukum Poligami: Mubah, Sunah, atau Haram?

Dasar hukum poligami mubah, tapi bisa menjadi sunah, wajib, bahkan haram.

Keluarga poligami
Foto: Ilustrasi
Keluarga poligami

“Agama Islam menganjurkan poligami”, katanya. Benar bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dan para sahabat melakukan poligami. Tapi apakah itu berarti bahwa poligami adalah sebuah anjuran? Benarkah poligami adalah sunah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam?

Untuk memahaminya, kita perlu membedakan makna dari kata ‘sunah’ terlebih dahulu. Ada dua makna ‘sunah’ yang kerap tercampur aduk di masyarakat. Yang pertama, kata ‘sunah’ terkait dengan apa-apa yang dilakukan, atau dikatakan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam. Dari sini, makna ‘sunah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam’ adalah apa-apa yang biasa Beliau shalallahu alaihi wassalam lakukan (atau katakan).

Berabad-abad setelah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, para ahli syari’ah, hukum Fiqh dan Imam Madzhab kemudian menetapkan lima hukum dasar dalam agama Islam untuk memudahkan umat mempertimbangkan sebuah amal. Pendeknya, para ulama itu berijtihad untuk menetapkan lima jenis kategori hukum baku, di mana semua persoalan seharusnya akan bisa ditimbang dengan kelima kategori hukum ini. Kelima hukum tersebut adalah wajib, sunah, mubah, makruh dan haram.

Sesuatu dikatakan ‘wajib’ bila jika harus dilakukan dan berdosa jika meninggalkannya. Dikatakan ‘sunah’ adalah ketika sesuatu lebih baik untuk dilakukan (berpahala), tetapi tidak apa-apa (tidak berdosa) jika ditinggalkan. ‘Mubah’ adalah ketika sesuatu boleh dilakukan, dan boleh tidak dilakukan. Bebas-bebas saja. ‘Makruh’ adalah ketika sesuatu lebih baik ditinggalkan (berpahala), tetapi jika ia melakukannya tidak membuatnya berdosa. Yang terakhir, sesuatu adalah ‘haram’ jika mutlak dilarang untuk melakukannya (berdosa jika dilakukan).

Tidak ada satu pun ayat atau hadits yang menyatakan hal seperti ‘hukum itu ada lima: wajib, sunah, mubah, makruh dan haram’. Kelima jenis hukum ini murni merupakan hasil ijtihad pada ulama, setelah mereka menelusuri sebanyak mungkin sumber hukum dan semua dalil yang mungkin diperoleh.

Dari sini, maka kita seharusnya sudah bisa membedakan antara dua jenis ‘sunah’. Pertama, yang pengertiannya adalah ‘apa-apa yang dilakukan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam'. Yang kedua, adalah yang pengertiannya terkait hukum Fiqh: sebagai sesuatu yang dianjurkan untuk dilakukan.

Nah, memang benar poligami adalah sesuatu yang dilakukan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam (sunah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam). Dari sudut pandang ini, jika ada yang mengatakan ‘poligami bukan sunah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam’, maka jelas ini adalah sebuah kesalahan —sebagian bahkan mengatakan ini adalah bentuk penghinaan terhadap Beliau shalallahu alaihi wassalam.

Namun, jika dilihat dari dari sisi hukum, umumnya ulama berpendapat dasar hukum poligami sesungguhnya bukan sunah, melainkan mubah.

Ia boleh dilakukan, dan boleh juga tidak dilakukan. Bahkan ayat tentang poligami (Surah An-Nisa [4] : 3) sangat jelas menunjukkan kemubahannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement