Jumat 26 Apr 2019 06:03 WIB

Menggali Hukum Poligami: Mubah, Sunah, atau Haram?

Dasar hukum poligami mubah, tapi bisa menjadi sunah, wajib, bahkan haram.

Keluarga poligami
Foto:
Keluarga poligami

Pendapat terkait Poligami

Ada beberapa pendapat terkait hukum poligami. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hukum dasarnya adalah mubah. Ini adalah pendapat paling umum terkait poligami. Namun bisa menjadi sunah, wajib, atau bahkan haram, bergantung pada persoalan dan kaidah hukum yang sesuai bagi situasinya.

Sebagian lagi ulama berpendapat hukum poligami adalah sunah, karena pada dasarnya apa pun yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, sesungguhnya adalah lebih baik jika dilakukan. Ditambah lagi, ada kaidah Fiqh yang menyebutkan pada dasarnya setiap perintah dalam Alquran adalah wajib.

Adanya kondisi tertentu yang membatasi poligami tidak akan menjadikannya mubah, melainkan sunah.

Dari sudut pandang tasawuf, ada yang berpendapat hukum poligami adalah sunah yang sangat khusus —itu adalah sunah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam yang tidak untuk semua orang. Ada syarat tertentu untuk melakukan poligami, di antaranya adalah ketika seseorang sudah menerima perintah Allah untuk melakukannya lewat hatinya— dan setelah perintah tersebut diverifikasi oleh Mursyid.

Dalam kaidah tasawuf, jika setiap orang telah menerima petunjuk umum berupa Alquran dan sunah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, maka setiap orang pun akan menerima petunjuk Allah ta’ala yang lebih khusus dari dalam qalbnya sendiri, setelah ia mencapai tingkatan mukmin billah (“barang siapa yang beriman billah, maka Allah akan memberi petunjuk kepada qalbnya.” (Surah At-Taghabun [64] : 11). Petunjuk perseorangan ini di antaranya bisa terkait poligami.

Poligami dan Mustahilnya Berlaku Adil

Ada yang menafsirkan ayat tentang poligami sebenarnya ‘secara halus’ menunjukkan sebenarnya poligami itu dilarang. Mengapa? Alasannya mereka merujuk pada ayat yang sama di kalimat, “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,” kemudian dihubungkan dengan ayat lain (Surah An-Nisa [4] : 129), “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” 

Secara sederhana, keterkaitan kedua ayat yang terpisah ini ditafsirkan sebagai sebuah penegasan kemustahilan manusia untuk mencapai keadilan. Maka, adil dalam poligami pun sesungguhnya adalah sesuatu yang mustahil. Dengan demikian, sebenarnya poligami adalah terlarang.

Apa itu ‘adil’? Adil bukanlah sama rata, sama rasa, semua memperoleh frekuensi dan jumlah yang sama. Dari kacamata tasawuf, makna kata ‘adil’ sangat terkait dengan makna proporsional, menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberikan atau menerima sesuatu sesuai haknya, sesuai fungsi dan sesuai tujuan.

Contohnya, keadilan kita pada anak balita tentu akan beda dengan kakaknya yang berusia sekolah dasar. Tidak mungkin dilakukan keadilan ‘sama rata sama rasa’ pada mereka. Dengan kata lain, keadilan bagi mereka berdua sangat relatif—tergantung tujuan, proporsi dan kebutuhannya. Bagaimana mungkin ini bisa diketahui secara pasti?

Dalam kacamata tasawuf, keadilan tertinggi mutlak hanya milik Allah ta’ala. Hanya Dia yang tahu kadar dan fungsi segala sesuatu, maupun kadar dan kebutuhan setiap orang, dengan tepat. Dari sudut pandang ini, memang benar keadilan ilahiah setingkat itu sesungguhnya mustahil dicapai.

Namun dari kacamata yang sama, sesungguhnya seorang manusia bisa mendekati tingkat keadilan Allah ta’ala, jika seseorang telah mencapai derajat taqwa. Dengan kata lain, keadilan sesungguhnya bisa dicapai (atau didekati) dengan ketakwaan. Ini berdasarkan ayat yang menyatakan sesungguhnya taqwa dan adil itu dua hal yang sangat dekat (Surah Al-Ma’idah [5] : 8).

Dan memang, sunah pernikahan sangat terkait dengan ketakwaan, jika kita menyimak hadits “Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh sisanya.” (HR Baihaqi dan Al-Hakim).

Jadi, pada dasarnya, dalam sebuah pernikahan akan selalu ada wilayah yang ada di luar kuasa kita untuk menyempurnakannya. Itu adalah ‘wilayah Allah ta’ala’. Jalan untuk menyempurnakan wilayah yang tidak terjangkau itu adalah dengan berusaha ber-taqwa kepada Allah dalam menjalankannya —baik itu dalam rumah tangga yang monogami maupun poligami.

Jadi, dari sudut pandang hakikat, dan jika tolak ukurnya adalah keadilan, jika sebuah rumah tangga tidak membawa anggotanya menjadi sesuai fungsi masing-masing—untuk mencapai tujuan untuk apa sesungguhnya seseorang diciptakan Allah— maka dalam rumah tangga yang monogami pun belum tentu ada keadilan, jika di dalamnya minim ketakwaan.

Di sisi lain, untuk mengatakan ‘sesungguhnya poligami sebenarnya dilarang secara halus, sebab keadilan mustahil dicapai’ jelas tidak mungkin, sebab pintunya telah Allah sediakan: ketakwaan. Baik dalam rumah tangga monogami maupun poligami, keadilan bisa tercapai dengan adanya ketakwaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement