Jumat 19 Apr 2019 09:57 WIB

Kutub Baru Politik Islam dan Pilpres 2024

Jauh lebih bermanfaat jika perbedaan kutub politik Islam tak jadi seteru sengit

Fitriyan Zamzami, wartawan Republika
Foto: Dok pribadi
Fitriyan Zamzami, wartawan Republika

Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika

Buat banyak kalangan di mancanegara, pilpres dan pileg yang baru kita lalui hanya punya satu wajah saja. Ia dibayangkan sebagai referendum soal jenis Islam bagaimana yang akan jadi tren di Indonesia.

Baca Juga

"Indonesia election put Islam on the ballots," tulis agensi berita Jerman Deutsche Welle. "Faith Politics on the Rise as Indonesian Islam Takes a Hard-Line Path" judul di the New York Times. "Jokowi's Poll Fight Shows Indonesia's Islam Identity Crisis," tulis Bloomberg. "INDONESIA ELECTION: IN PRABOWO VERSUS WIDODO, IT’S ISLAMIC STATEHOOD VERSUS TOLERANCE" tulis South China Morning Post dengan huruf besar. Sedikit sekali, seperti the Guardian yang melansir judul "Joko Widodo: how 'Indonesia's Obama' failed to live up to the hype" yang mencoba mengaitkan fenomena terkini dengan kegagalan Presiden Joko Widodo menunaikan janji-janji kampanyenya.

Jadi bagaimana hasil referendum yang mereka bayangkan tersebut?

Pertama. Basis pemilih kedua capres ternyata tak banyak berubah. Ternyata, di surat-surat suara, setidaknya menurut hitung cepat, "meningkatnya radikalisme dan fundamentalisme Islam" yang digadang-gadang bakal mendongkrak suara Prabowo-Sandi itu tak mewujud.

Tapi kita mencoba mengerti, kekentalan ideologis bukan sekadar kuantitas. Kalau soal ini, hasil pileg 2019 agaknya bisa lebih memberikan gambaran.

Gambaran besarnya, pada pileg 2014, perolehan total parpol-parpol Islam sebanyak 31,59 persen. Dari jumlah itu, yang terbanyak PKB dengan 9,04 persen, kemudian PAN dengan 7,59 persen, dan PKS (6,79 persen) lalu PPP (6,53 persen) dan PBB tak lolos parlemen dengan (1,46 persen).

Pada pileg 2019, menurut hitung cepat sejumlah lembaga survei, raihan total parpol Islam justru turun. Indobarometer mencatat, raihan total parpol Islam sebanyak 30,07 persen. Dari jumlah itu, suara yang diperoleh PKS melonjak mencapai 9,66 persen sedangkan PKB 8,97 persen. Menyusul kemudian PAN (6,83 persen), PPP (4,40 persen), dan PBB (0,84 persen).

Sedangkan menurut perhitungan LSI Denny JA, penurunan total raihan parpol Islam jadi lebih dalam, menjadi 29,17 persen. Dalam hitungan LSI Denny JA, PKB memuncaki perolehan dengan 9,71 persen, disusul PKS (8,04 persen), lalu PAN (6,15 persen), PPP (4,34 persen), dan PBB (0,93 persen). Baik hitung cepat Indobarometer maupun LSI Denny JA itu disimpulkan dengan lebih dari 90 persen sampel yang masuk.

Terlepas dari perbandingan keseluruhan denga  2014, layak dicatat, kenaikan perolehan suara parpol-parpol ini fenomenal jika menengok hasil survei lembaga tersebut. Merujuk survei LSI Denny JA yang dilansir pada 5 April lalu, PKB hanya dapat 5,8 persen, kemudian PKS 3,9 persen, PPP, 2,9 persen, dan PAN 3,1 persen. Artinya, selain suara PPP, survei itu meleset jauh dari batas margin of error servei tersebut sebesar 2,8 persen.

Bagaimana membaca angka-angka tersebut dibandingkan pileg 2014? Pertama, jika hitung cepat itu akurat, bisa disimpulkan ada sedikit suara parpol-parpol Islam yang dicuri pesaing nasionalis mereka. Tersangkanya bisa parpol-parpol pengusung capres seperti PDIP dan Gerindra yang meningkat perolehan suaranya (meski sedikit saja), atau juga parpol-parpol pragmatis macam Nasdem, atau juga parpol-parpol baru.

Kedua, pergeseran suara di antara parpol Islam menunjukkan gejala yang menarik. Raihan suara PPP yang anjlok tentu tak terlepas dari tertangkapnya ketua umum mereka. Masih bagus parpol itu masih bisa menembus ambang batas parlemen.

Artinya, kesetiaan pemilih Islam terhadap parpolnya tak membuta. Seperti PKS yang juga anjlok pada pileg 2014 selepas petingginya terseret kasus korupsi pada 2013, umat akan menghakimi saat parpol-parpol Islam tak menjaga amanat.

Namun yang tak kalah penting disimak barangkali perolehan PKB dan PKS tahun ini. Keduanya bisa dipastikan memimpin gerombolan dengan perolehan yang hanya terpaut tipis. Di internal parpol-parpol Islam, kedua partai tersebut panen pergeseran dukungan dari rekan-rekan mereka.

Tentu PKB diuntungkan dengan dukungan mutlak ke pasangan Jokowi-KH Ma'ruf. Dalam bahasa politik, parpol ini dapat efek ekor jas alias coattail effect dari sikap itu. Sedangkan PKS juga dapat keuntungan serupa dari dukungan ke Prabowo-Sandi, terlebih militansi kader parpol itu bukan main-main.

Tapi menarik juga menengok latar kedua parpol. PKB didirikan KH Abdurrahman Wahid sebagai wadah politik Nahdliyin. Di perpolitikan Indonesia, PKB dibayangkan sebagai rumahnya Islam tradisionalis Nahdlatul Ulama. Sementara PKS didirikan kaum yang lebih modernis, merujuk pergerakan Islam internasional. Tak sedikit yang mengasosiasikan PKS dengan puritanisme Islam, Ikhwanul Muslimin, dan garis politik gerakan salafiyah.

Artinya, dalam satu dan lain hal, PKB dan PKS adalah dua kutub politik Islam di Indonesia yang berbeda, jika "berseberangan" adalah kata yang terlampau kuat. Sementara perolehan suara keduanya dalam hitung cepat menunjukkan pemilih parpol Islam kian mengental ke arah dua kutub tersebut.

Sekarang, jika hitung cepatnya manjur, dua parpol itu sedikit banyak akan sama kuat di parlemen. Di sini, tanpa mengecilkan parpol Islam lainnya, sangat penting bagi para petinggi PKB dan PKS untuk duduk dan bicara selekasnya.

Rekahan di tataran pemilih yang kian tampak itu harus dicegah jadi perpecahan. Biar nanti yang mereka perjuangkan di DPR benarlah untuk kepentingan umat secara keseluruhan, bukan golongan masing-masing saja. Karena seperti adagium terkenal dari komik Spiderman itu, "with great power come great responsibility".

Jauh lebih bermanfaat bagi bangsa Indonesia jika perbedaan kutub politik Islam itu tak jadi seteru yang sengit betul. Harus diingat pula, parpol-parpol Islam praktis saat ini bebas dari "hutang" mendukung capres dari parpol nasionalis mana pun pada Pilpres 2024 nanti. Jalan untuk mengusung calon yang benar-benar mewakili umat Islam, bukan sekadar jago partai nasionalis yang dipaksakan jadi suara umat, masih terbuka lebar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement