Kamis 18 Apr 2019 07:39 WIB

Syarat untuk Berbaikan Setelah Pilpres 2019

Masyarakat lebih mudah berbaikan ketika pemilu jujur dan adil.

Reiny Dwinanda, wartawan Republika
Foto: Dokumen pribadi
Reiny Dwinanda, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*

Hasil quick count sejumlah pollsters telah mengisyaratkan kemenangan bagi kubu pejawat. Meski begitu, Joko Widodo (Jokowi) seperti tak mau tergesa menyatakan kepemimpinannya akan berlanjut dua periode.

Demikian pula dengan Megawati Soekarnoputri selaku orang nomor satu di partai pengusung Jokowi, PDI Perjuangan. Dia bahkan memuji pidato "Kemenangan" capres penantang, Prabowo Subianto, yang meredam emosi pendukungnya terkait hasil hitung cepat.

Di lain sisi, Prabowo masih memompa semangat pemilihnya dengan mengatakan survei internal Badan Pemenangan Nasionalnya menunjukkan dominasi atas pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Dia bahkan sudah sujud syukur atas klaim pencapaiannya.

Di akar rumput, hasil hitung cepat ditanggapi beragam oleh pendukung kedua pasang capres-cawapres. Setidaknya begitulah yang terlihat di media sosial dan lingkungan sekitar.

Salah satu tetangga di grup Whatsapp RT mengajak menyudahi, melupakan isu Pilpres quick count. Tetangga lain yang berbeda pilihan sontak memprotes.

Menurutnya, rangkaian prosesi pilpres belum usai. Ia menganggap sah-sah saja ngomong politik terkait pilpres di grup itu. Apalagi, hasil perhitungan langsung belum ada, apalagi tervalidasi.

Semua masih bisa berubah, menurut ibu itu. Asa yang sama dipertahankan oleh banyak pendukung Prabowo-Sandiaga Uno. Mereka mengajak sesamanya untuk terus mengetuk pintu langit dengan keyakinan wis wayahe kontestan nomor urut 02 memimpin negeri.

Sementara itu, sebagian lainnya sudah mulai cair dengan pendukung kubu 01. Mereka dengan ringan menertawakan keadaan, bahkan mempersilakan kawan-kawan "cebong" mencandainya sebagai "kampret" yang gagal melejitkan tokoh baru calon pemimpin negeri.

Di antara "cebong" yang meluapkan kegembiraannya sambil menertawai "kampret", banyak juga yang cepat menetralisir dengan ajakan untuk tidak berekspresi berlebihan. Mereka ingin berbaikan dengan kawan-kawan yang terbelah karena pilpres.

Jalinan persaudaraan anak negeri memang harus dirajut kembali. Namun, berbaikan pun ada syaratnya. Penyelenggara Pemilu 2019 masih punya utang besar pada rakyat. Apalagi, belum semua warga yang memiliki hak pilih bisa ikut mencoblos, entah karena surat suara kurang, logistik pemilu belum tiba, ataupun namanya tak tercantum dalam daftar pemilih.

Itu menjadi syarat utama untuk mulai berbaikan. Berikutnya baru soal penghitungan suara. Komitmen untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil harus diperlihatkan  Komisi Pemilihan Umum hingga data akhir didapat.

Ingatlah, dugaan kecurangan pemilu berpotensi menghambat proses rekonsiliasi anak negeri. Saya tak mau membayangkan resiko kericuhan yang mungkin saja dipantik oleh loyalis kubu tertentu. Kita bisa menempuh jalur konstitusional untuk menyelesaikan perseteruan soal pemilu.

Rujuk nasional memang tak sesederhana itu untuk dapat terwujud. Amerika Serikat, contohnya, rakyatnya masih terbelah sejak Donald Trump terpilih pada 2016. Kebijakan-kebijakan Trump pun terus menuai pro-kontra di masyarakat sementara ia berminat maju lagi di pemilu AS 2020.

Mantan Ibu Negara AS Michelle Obama dalam wawancaranya dengan The Independent secara bergurau menggambarkan Amerika sebagai keluarga yang berantakan dan masih tak menentu nasibnya. Warganya tak ubahnya anak yang punya kesempatan bertemu ayahnya di akhir pekan menyusul perceraian. Awalnya itu tampak menyenangkan, namun kemudian si anak jatuh sakit. "Itulah yang tengah dialami masyarakat Amerika saat ini," kata Michelle, Selasa (16/4).

Saya tak hendak menyebarkan pesimise bahwa rujuk nasional sukar untuk dicapai. Saya justru ingin kita tampil lebih baik lagi dalam menghadapi perbedaan dan tantangan hidup bernegara.

Tentunya, ini menjadi tugas bersama seluruh elemen masyarakat. Semua harus menjadi negarawan. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam mendukung kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden tak boleh cuci tangan. Betapapun, panasnya pilpres juga terjadi karena argumen-argumen yang mereka lontarkan, terlebih di media sosial.

Semua harus turun ke masyarakat untuk menebarkan kembali semangat persaudaraan. Mereka mesti membantu rakyat untuk bisa menemukan hikmah dari kalah-menang dalam kontestasi ini.

Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi juga harus tampil dengan narasi yang menyejukkan. Jangan biarkan masyarakat mendapat kesan mereka hanyalah stempel untuk mengantarkan politikus menjadi penguasa. Yang menang tak boleh melupakan janji kampanyenya dan yang kalah tak lantas meninggalkan konstituennya.

Ajak rakyat agar bisa menunjukkan yang menang tak jemawa dan yang kalah legawa, terlebih ketika pilpres berlangsung bermartabat. Toh, siapapun yang terpilih akan menjadi presiden Republik Indonesia, bukan presiden untuk pendukungnya semata.

*penulis adalah wartawan republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement