REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengungkapkan, ada tiga reaksi Prabowo Subianto setelah mendengar keterangan Ratna Sarumpaet terkait penganiayaan terhadap dirinya. Kala itu, Prabowo tidak mengetahui bahwa penganiayaan tersebut merupakan kebohongan.
Said mengatakan Prabowo merespons penganiayaan, yang belakangan diketahui bohong, saat pertemuan yang digelar di Lapangan Polo, Bogor, 2 Oktober 2018. Said mengaku turut hadir dalam pertemuan tersebut. Selain itu, Said mengatakan, hadir pula Fadli Zon, Amien Rais, Nanik S Deyang, Prabowo Subianto, dan Ratna Sarumpaet.
Menurutnya, pertemuan itu membahas mengenai 'penganiayaan' terhadap Ratna. "Pembicaran itu mengalir saya terlambat sedikit. Yang intinya adalah menceritakan kembali penganiayaan beliau yang terjadi di Bandung," kata Said saat memberikan kesaksian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalam Ampera Raya, Selasa (9/4).
Usai mendengar cerita Ratna, Said menjelaskan, Prabowo menanggapi dengan tiga hal. Pertama, Prabowo menyarankan Ratna untuk melaporkan ke pihak kepolisian.
"Saya ingat satu, sebaiknya lapor polisi dan lakukan visum karena ini adalah penganiayaan. Sekali lagi kita tidak tahu bahwa itu adalah sebuah kebohongan," kata Said.
Kedua, Prabowo menekankan demokrasi harus damai dan adil. "Prabowo cerita tidak boleh ada kekerasan di dalam demokrasi. Tidak boleh violence, victims," ucap dia.
Ketiga, Prabowo bersedia menemui Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk meminta kasus penganiayaan Ratna Sarumpaet segera ditangani. "Kalau memang ada sesuatu yang dirasakan oleh kak Ratna dengan polisi. Pak Prabowo bersedia ketemu pak Kapolri menyampaikan hal ini," tutur Said.
Ratna Sarumpaet didakwa karena menyebarkan berita bohong atau hoaks mengenai penganiayaan terhadap dirinya. Ratna menyebarkan hoaks kepada sejumlah orang lewat pesan WhatsApp, termasuk mengirimkan gambar wajah lebam dan bengkak yang diklaim akibat penganiayaan.
Dalam perkara ini, Ratna didakwa melanggar Pasal 14 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau dakwaan kedua pasal 28 Ayat (2) jo 45A Ayat (2) UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ratna didakwa telah membuat keonaran melalui berita bohong yang dibuatnya.