REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Sejumlah warga di RT 6,7 dan 8 Kelurahan Jatimulya, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi segera melayangkan gugatan klaim lahan oleh PT Adhi Karya di wilayah tanah mereka. Lahan dengan luas 11 hektare itu rencananya akan dibangun depo kereta Light Rail Transit (LRT) oleh PT Adi Karya. Sementara lahan yang akan digugat warga itu sebagian dari lahan tersebut, yakni seluas 4 hektare.
"Kami akan daftarkan gugatan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Jawa Barat setelah pemilu," ungkap kuasa hukum warga Jatimulya, Riano Osca, Ahad (7/4).
Riano menjelaskan, PT Adhi Karya mengklaim lahan yang bukan miliknya. Klaim Adhi Karya didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 tahun 1997 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam perusahaanya. "Peraturan ini kami anggap cacat demi hukum," kata dia.
Alasannya, kata Riano, karena lahan yang diberikan pemerintah lewat Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) ke Adhi Karya itu berada di Desa Setia Darma, Tambun Selatan, bukan di Desa Jatimulya (sekarang Kelurahan Jatimulya). "Desa Setia Darma itu letaknya lebih ke timur dari Jatimulya," ucap Riano.
Terlebih lagi, kata Riano, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi juga menyebutkan lahan itu sekarang status quo. Hal itu diketahui ketika warga mengadakan rapat dengan BPN pada 2017.
"BPN tidak bisa menunjukkan kepemilikan sah lahan milik PT Adhi Karya," kata dia.
Berdasarkan sejumlah alasan itulah, warga mengklaim lahan itu milik mereka. "Warga berhak atas lahan itu sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960," ujar dia.
Di dalam peraturan tersebut, kata dia, lahan milik negara yang tidak dikelola kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat secara sosial, statusnya akan meningkat menjadi hak milik setelah lebih dari 20 tahun. Ketua Forum Komunikasi Kampung Jati Terbit yang merupakan salah satu kampung di Jatimulya, Sondi Silalahi, menjelaskan, hanya ada dua lembaga negara yang berhak menetapkan status kepemilikan tanah, yakni BPN dan pengadilan.
"BPN bilang ini status quo, makanya kami menggugat ke pengadilan," ujarnya.
Sondi mengklaim ada sebanyak 164 keluarga memiliki lahan di sana. Lokasinya, kata dia, dari tanggul Kalimalang melebar sampai 100 meter lebih ke dalam hingga dekat jalan tol Jakarta-Cikampek. Adapun panjangnya dari perbatasan Kota Bekasi ke timur sampai 400 meter lebih. Jika dikalkulasikan, menurut Sondi, mencapai hingga 40 ribu meter atau 4 hektar.
Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Pengadahan Tanah BPN Kabupaten Bekasi Agus Susanto, mengatakan, memang landasan kepemilikan tanah PT Adhi Karya di Jatimulya itu berdasarkan PP nomor 3 tahun 1997 tersebut. "Cuma oleh Adhi Karya belum selesai proses daftarnya di kantor kami sertifikatnya itu," ungkap Agus, Senin (8/4).
Ia menjelaskan, memang dalam PP tahun 1997 itu dinyatakan tanah penyertaan negara dari Kementrian PUPR untuk Adhi Karya itu di Desa Setia Darma. Namun setelah itu, kata Agus, ada revsi PP tersebut yang menyebutkan tanah di Kelurahan Jatimulya juga merupakan tanah yang disertakan untuk Adhi Karya. Kemungkinan, kata dia, warga tidak mendapatkan dokumen perubahan tersebut.
"Yang pertama itu yang di Setia Darma, kemudian dilengkapi yang di Jatimulya. Iya itu ada dokumen susulan, yang merupakan revisi satu kesatuan dari dokumen yang lama. Di Adhi Karya punya itu dokumennya," terang Agus.
Agus menjelaskan, meski sudah ada dokumen hukum yang menyatakan tanah di Jatimulya itu milik Adhi Karya , namun proses pendaftaran sertifikat tanah oleh Adhi Karya tidak bisa dituntaskan oleh BPN. Hal itu lantaran pihak warga juga mengajukan permohonan pembuatan sertifikat tanah atas lahan yang sama.
"Ya karena di sana ada pihak warga yang mengajukan juga, berarti dua-duanya nggak diproses dulu," kata Agus.
Untuk sementara, kata Agus, status tanah itu masih hanya berlandaskan berkas dokumen dari PP tahun 1997 tersebut. Sedangkan, BPN selaku tempat mendaftarkan surat kepemilikan tanah tidak bisa menuntaskan surat kepemilikan tanah itu sebelum adanya kejelasan secara hukum.
"Kalau kita masih dalam masalah kan tidak bisa diproses. Harus clean and clear dulu baru diproses." tegasnya.
Untuk itu, Agus mendukung upaya hukum yang hendak ditempuh oleh warga agar adanya kejelasan statusnya secara yuridis. "Kalau mau melalui jalur hakum tentang siapa yang berhak itu memang ke pengadilan. Itu jalur yang baik, biar tidak saling klaim, biar pengadilan yang putus," tutup Agus.