Ahad 07 Apr 2019 05:54 WIB

Novel Baswedan Kecewa Kasusnya Belum Terungkap

Pada 11 April , tepat dua tahun kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan berlalu.

Penyidik senior KPK Novel Baswedan berbicara dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (6/4/2019).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Penyidik senior KPK Novel Baswedan berbicara dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (6/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono

Penyidik senior di Komisi Pembertantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan merasa kecewa dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Rasa putus asa tersebut, kata dia, bakal semakin dalam melihat fakta kasus penyiraman air keras yang dialaminya, tak juga melaju ke ranah hukum dan pengungkapan.

Novel mengatakan, dua tahun menunggu keadailan, seperti tak ada lagi harapan. Namun menurutnya, belum terlambat bagi pemangku di pucuk tertinggi eksekutif, tetap membentuk Tim Pencari Fakta Gabungan (TGPF).

“Sekarang begini, kira-kira kalau sudah menunggu dua tahun, Presiden (Jokowi) mau apa lagi? Bukankah semakin lama, akan semakin sulit untuk terungkap,” kata Novel kepada Republika saat ditemui di acara Amnesty Internasional di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan (Jaksel), pada Sabtu (6/4).

Sebab menurut dia, Tim Gabungan Kasus Novel bentukan Kapolri Jenderal Tito Karnavian sudah terbukti tanpa hasil. “Jadi setelah dua tahun (tidak terungkap), tidak ada alasan lagi bagi Presiden untuk menunggu, untuk segera membentuk TGPF,” sambung dia.

Novel mengatakan, pembentukan TGPF satu-satunya jalan mengungkap fakta hukum tentang tragedi penyiraman air keras yang menimpanya. Penyidik 41 tahun itu menjelaskan, pembentukan TGPF akan lebih objektif menguak siapa pelaku, bahkan aktor intelektual aksi kejahatan tersebut.

Novel menerangkan, pembentukan TGPF bukan desakan subjektif darinya sebagai korban. Namun lebih dari itu. Kata dia, TGPF bentukan Presiden memberikan jaminan adanya perlindungan bagi pemberantasan korupsi.

“Dan (TGPF) ini bukan persoalan saya. Ini masalah pemberantasan korupsi yang diganjal, diganggu, dan digagalkan,” kata Novel.

Ia pun bertanya-tanya sikap Presiden Jokowi mengapa tampak berat pikir membentuk tim yang objektif demi pengungkapan skandal kejahatan sistematis terhadap dirinya. “Terus apakah Presiden hanya mau diam? Kalau Presiden tetap diam, saya hanya mau menyampaikan, terlalulah sudah,” kata Novel.

Sikap Presiden Jokowi, membuat Novel merasa pesimistis, meskipun masih ada kesempatan mengungkap dalang di balik penyerangan-penyerangan terhadap penyidik, dan petugas di KPK. Pada 11 April mendatang, genap dua tahun kejahatan terancana yang menimpa Novel Baswedan tak terungkap.

Dua tahun lalu, persisnya 11 April 2017, Novel menjadi korban penyiraman air keras yang dilakukan oleh dua orang tak dikenal di sekitaran kediamannya, di Penganggsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara (Jakut). Kejadian itu terjadi saat Novel di jalan pulang usai shalat Subuh di Masjid Jami Al-Ihsan. Siraman air keras tersebut membuat Novel harus kehilangan mata sebelah kirinya, setelah perawatan intensif di Indoensia, dan Singapura selama lebih dari 10 bulan.

Desakan kalangan sipil agar kejahatan yang menimpa Novel diungkap sampai hari ini terus dilakukan. Sejak Februari 2018, Novel yang didukung kalangan aktivis dan sipil, meminta kepada Presiden Jokowi agar dibentuk TGPF.

Sebab, aksi kejahatan sistematis yang menimpa Novel, bukan serangan pertama. Pun bukan cuma Novel.

Novel menceritakan, hampir semua penyidik dan sejumlah pimpinan KPK, kerap menerima ancaman dan serangan terbuka. Akan tetapi, desakan agar Presiden Jokowi membentuk TGPF sampai hari ini tak dikabulkan.

Pada Desember 2018, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan agar pemerintah, melakukan langkah hukum terkait skandal kejahatan yang dialami Novel. Menjawab rekomendasi tersebut, pada 8 Januari, Kapolri Jenderal Tito Karnavian membentuk Tim Gabungan.

Tim tersebut, dibentuk khusus mencari fakta, dan bukti, serta penyidikan kejahatan yang menimpa Novel. Tim Gabungan itu, terdiri dari tiga unsur, yaitu, dari penyidik Polri, KPK, dan para Dewan Pakar mewakili kalangan masyarakat, pegiat HAM.

Tim Gabungan itu, diketuai oleh Irjen Idham Aziz yang saat itu menjadi Kapaldo Metro Jaya. Ia dibantu wakilnya, Brigjen Nico Afinto, yang saat itu sebagai Kabiro Bareskrim Polda Metro Jaya. Kedua perwira tinggi kepolisian tersebut, saat ini sudah promosi kepangkatan sebagai Kabareskrim, dan Karoops Bareskrim di Mabes Polri.

Tim Gabungan tersebut, dibentuk dengan masa tugas selama enam bulan, sampai Juli 2019. Tim tersebut wajib melaporkan hasil kinerjanya kepada Kapolri, sebagai penanggung jawab.

Adapun, dari kalangan sipil, sebagai dewan pakar dalam Tim Gabungan, ada nama-nama seperti Profesor Indriyanto Seno Adji yang pernah menjadi Plt Wakil Ketua KPK. Ada juga peneliti Profesor Hermawan Sulistyo, dan akademisi Amzulian Rifai.

Dari kalangan pegiat HAM, ada Hendardi dari SETARA Institute, Poengky Indarti dari Kompolnas, dan Ifdhal Kasim serta Nur Kholis, mantan komisioner Komnas HAM. Sedangkan, dari KPK mengirimkan empat nama ke dalam tim.

Akan tetapi, setelah tiga bulan terbentuk, Tim Gabungan tersebut memang belum mengungkapkan hasilnya. Jangankan menemukan aktor intelektual kejahatan terhadap Novel, siapa aktor lapangan penyiram air keras terhadap Novel, pun sampai hari ini tak juga terkuak.

“Tadinya kan saya menduga, tidak bisa dipercayalah ya. Saya menduga tidak terlalu objektif. Ternyata, dugaan saya benar adanya. Jadi itu saja terkait tim Polri itu,” sambung Novel.

Harapan agar perwakilan masyarakat, dan pegiat HAM yang ada di Tim Gabungan mampu bekerja sesuai harapan, pun mentah bagi Novel. Sambil terkekeh Novel mengatakan, Tim Gabungan bentukan Kapolri, bukan tim independen yang berisikan orang-orang tak objektif dalam usaha pengungkapan kasusnya.

Loh, orang-orang sipil di tim itu kan orang-orang Kapolri semua. Jadi bukan orang-orang yang independen. Semuanya staf ahli Kapolri. Prof Kiki staf ahli Kapolri, Prof Seno Adji staf ahli Kapolri. Jadi yang bukan orang-orang Polri yang mana? Kompolnas (sambil terkekeh)? Jadi saya mengertilah, orang-orangnya yang mana orangnya Kapolri. Jadi ada keterikatan, yang membuat mereka tidak objektiflah,” ujar Novel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement