REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak mempermasalahkan pernyataan Mahkamah Agung (MA) bahwa komisioner KPU telah melanggar aturan dan sumpah jabatan ketika tidak menjalankan putusan PTUN soal gugatan Oesman Sapta Odang (OSO). Komisioner KPU Hasyim Asy'ari mengatakan KPU tidak ingin membangkang konstitusi.
"Ya, monggolah, itu kata Mahkamah Agung," ujar Hasyim usai mengisi diskusi di Hotel Ashley, Gondagdia, Jakarta Pusat, Jumat (5/4).
Dia melanjutkan, KPU tetap berpatokan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pencalonan DPD. Jika tidak menjalankan putusan MK maka KPU akan dianggap melakukan pembangkangan terhadap konstitusi.
"Kalau KPU tidak mengikuti putusan MK, kami akan juga dianggap melakukan pembangkangan konstitusi," katanya.
Hasyim menuturkan putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018, menyatakan pengurus parpol dilarang mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Jika ingin ditetapkan sebagai calon DPD maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri dari parpolnya.
Hal ini berlaku juga bagi OSO yang mencalonkan diri menjadi anggota DPD. Namun, OSO tidak mengundurkan diri dari parpol sehingga KPU tidak memasukkannya ke dalam DCT calon anggota DPD Pemilu 2019.
Bagi KPU, kata Hasyim, yang menjadi ukuran adalah konstitusi dan putusan MK. "Sekarang kan ukuran itu bisa dijadikan ukuran, sebenarnya siapa yang jadi pembangkang konstitusi," kata dia.
Sebelumnya, Ketua Kamar Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Supandi menilai KPU telah melanggar perintah jabatan dan melanggar aturan ketika tidak menjalankan putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap. MA menilai KPU sebagai organ negara wajib hukumnya menaati putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
"Senang atau tidak senang, itu (putusan PTUN soal OSO) hukum dan wajib dilaksanakan, kalau tidak dilaksanakan melawan perintah jabatan dan kualifikasi perbuatan melawan hukum," ujar Supandi, di gedung MA, Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat.
Menurut Supandi, KPU sebagai organ negara harus mengambil keputusan berdasarkan aturan yang berlaku termasuk putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Meskipun putusan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan pribadinya atau kelompoknya.
"Maka demi hukum pemerintah, itu tergugat wajib melaksanakan. Kalau mengatakan dirinya organ negara, negara berdasarkan hukum pasti bertindakan berdasakan hukum. Kalau ada pejabat sudah diputus pengadilan tidak mau melaksanakan, apa artinya, ini pejabat dalam posisi melakukan perbuatan melanggar hukum," terang dia.
Putusan PTUN Jakarta Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT telah memerintahkan KPU membatalkan SK Penetapan DCT Calon DPD Pemilu 2019. PTUN juga memerintakan menerbitkan SK baru tentang Penetapan DCT Calon DPD dengan memasukkan nama OSO di dalamnya.
KPU belum menjalankan isi putusan PTUN tersebut karena KPU menyatakan berpegang pada putusan MK 30/PUU-XVI/2018. Dalam putusan tersebut, pengurus parpol dilarang mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Jika ingin ditetapkan sebagai calon, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri dari parpolnya.
Kubu OSO telah melakukan berbagai langkah hukum agar KPU menjalankan putusan PTUN tersebut termasuk melaporkan KPU ke Bawaslu dan DKPP. Terakhir, kubu OSO melaporkan ke KPU ke Presiden Jokowi dan Presiden sudah mengirimkan surat ke KPU agar menjalankan putusan PTUN soal OSO.