REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan belum optimal melakukan sosialisasi mengenai HIV/AIDS kepada masyarakat. KPAI menyatakan kasus penolakan 12 Anak dengan HIV (ADHA) oleh orangtua murid di Solo beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat mengenai HIV/AIDS masih rendah.
"Sosialisasi itu kan tugas Kementerian Kesehatan. Kalau menurut saya gagal, karena masyarakat masih punya penolakan tinggi seperti ini," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti di kantor KPAI, Jakarta, Kamis (4.4).
Retno menyarankan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, memperbanyak sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai HIV/AIDS. Kementerian Kesehatan, dia melanjutkan, bisa melaksanakan kegiatan sosialisasi bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Sosialisasi, menurut dia, antara lain bisa dilakukan melalui iklan layanan masyarakat. "Bikin iklan layanan masyarakat tapi yang keren. Zaman sekarang kan bisa pakai media sosial. Misalnya durasi satu menit, tapi berisi informasi. Pakai animasi biar menarik, yang penting informasinya sampai," katanya.
Retno menegaskan bahwa anak dengan HIV juga mempunyai hak yang sama dengan anak-anak yang lain, termasuk berhak mendapat pelayanan pendidikan. Tidak alasan bagi masyarakat untuk menolak keberadaan mereka. "Kenapa kita bersikeras anak-anak ini tetap mendapatkan hak pendidikan formal, karena semangat hidup mereka dan potensi mereka bisa berkembang jika berada di lingkungan seperti anak lainnya," katanya.
Retno menambahkan, jangan mereka didiskriminasi, dipisahkan. "Apalagi ide mendirikan sekolah khusus. Itu malah lebih ngeri lagi," ujarnya.
Februari lalu 12 ADHA dikeluarkan dari SD Purwotomo, Solo, Jawa Tengah, atas desakan dari orang tua siswa lain yang khawatir mereka bisa menularkan virus ke murid yang lain. Kasus penolakan serupa terjadi di satu sekolah di Jakarta tahun 2011, serta terjadi lagi di Gunung Kidul (Yogyakarta) pada 2012, serta di daerah Nainggolan, Samosir, Sumatera Utara, tahun 2018.