Kamis 28 Mar 2019 19:15 WIB

Alasan MK Perbolehkan Suket Sebagai Syarat Mencoblos

Mahkamah Konstitusi hari ini mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU Pemilu.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman didampingi Hakim Konstitusi bersiap membacakan putusan perkara uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (28/3).
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman didampingi Hakim Konstitusi bersiap membacakan putusan perkara uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (28/3).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Erika Nugraheny

Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini memutuskan, mengabulkan sebagian terkait sejumlah pasal dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Dalam putusannya, MK memperbolehkan masyarakat kembali mengurus pindah memilih dan menggunakan surat keterangan (suket) jika belum memiliki KTP-el.

Baca Juga

Adapun, pemohon dari uji materi terdiri dari tujuh pihak, yakni Perludem (Pemohon 1), Hadar Nafis Gumay (pemohon 2), Feri Amsari (pemohon 3), Augus Hendy (pemohon 4), A. Murogi bin Sabar (pemohon 5), Muhamad Nurul Huda (pemohon 6), dan Sutrisno (pemohon 7). Perkara permohonan uji materi ini teregistrasi dengan nomor 20/PUU-XVII/2019. Tujuh pemohon ini mengajukan uji materi pasal Pasal 210 ayat (1), Pasal 348 ayat (4), ayat (9), Pasal 350 ayat (2), Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

"Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan pemohon 1 pemohon 4, pemohon 5, pemohon 6 dan pemohon 7 untuk sebagian," ujar Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung MK, Medan Merdeka Barat, Kamis (28/3).

MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon Pasal 348 ayat (9) terkait syarat KTP-el dalam melakukan pencoblosan. MK memperbolehkan pemilih untuk bisa memilih tidak hanya dengan KTP-el. Pemilih tetap bisa memilih dengan suket perekaman KTP-el yang dikeluarkan oleh Dinas Dukcapil.

"Menyatakan frasa 'KTP-el' dalam Pasal 348 ayat (9) UU nomor 7/2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula surat keterangan perekaman KTP-EL yang dikeluarkan oleh dinas dukcapil," tutur  Anwar.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa untuk menggunakan hak pilih, maka orang harus terdaftar sebagai pemilih. Karena itu, KPU melakukan pemuktahiran dan penyusunan serta penetapan daftar pemilih tetap (DPT).

Namun, terdapat peluang bahwa orang tidak terdata dalam data DPT. Sehingga, UU Pemilu membolehkan yang bersangkutan menggunkan KTP-el sebagai syarat memilih.

"Penggunaan KTP-el sebagai identitas pemilih merupakan syarat alternatif dalam penggunaan hak memilih maka identitas selain KTP-el tidak dapat disamakan dengan KTP-el. KTP-el ditempatkan sebagai batas minimum identitas warga negara yang memiliki hak pilih untuk dapat menggunakan haknya. Adapun identitas lainnya tidak dapat disamakan dengan KTP-el sebagai identitas resmi penduduk yang diakui dalam sistem administrasi kependudukan Indonesia," ujar Hakim I Gede Dewa Palguna sata membacakan putusan di Gedung MK, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (28/3).

MK berpandangan bahwa KTP-el merupakan identitas resmi yang menjadi administrasi minimal dalam menggunakan hak memilih. Menurut MK, dalam konteks bahwa pemilu yang jujur dan adil juga bergantung pada akuntabilitas syarat administratif yang diterapkan dalam penggunaan hak pilih maka KTP-el merupakan identitas resmi yang dapat dipertanggungjawabkan.

"Dalam arti, KTP-el-lah yang secara tegas dinyatakan dalam UU Pemilu sebagai identitas resmi," kata Palguna.

Namun, MK menyadari bahwa pada faktanya, masih ada yang belum memiliki KTP el sehingga terancam hak pilihnya. Kondisi tersebut merugikan hak memilih warga negara yang sejatinya bukanlah disebabkan oleh faktor kesalahan atau kelalaiannya sebagai warga negara.

Jika syarat memiliki KTP-el tetap diberlakukan bagi warga negara yang sedang menyelesaikan urusan data kependudukan, maka menurut MK, hak memilih mereka tidak terlindungi.

"Agar hak memilih warga negara dimaksud tetap dapat dilindungi dan dilayani dalam Pemilu, dapat diberlakukan syarat dokumen berupa surat keterangan perekaman KTP-el yang diterbitkan oleh dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil. Jadi, bukan surat keterangan yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh pihak lain," tegas Palguna.

MK menilai penggunaan identitas lain selain KTP-el dan suket berpotensi menimbulkan kecurangan dalam pemilu. Pasalnya, pemilu yang jujur dan adil juga tergantung pada akuntabilitas syarat administratif yang diterapkan dalam penggunana hak pilih.

"Dalam hal KTP-el belum dimiliki, sementara yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk memiliki hak pilih maka sebelum KTP-el diperoleh, yang bersangkutan dapat memakai atau menggunakan surat keterangan perekaman KTP-el dari dinas urusan kependudukan dan catatan sipil instansi terkait sebagai pengganti KTP-el," kata Palguna.

Respons KPU

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Viryan, mengatakan akan mengubah peraturan KPU (PKPU) setelah adanya putusan MK yang memperbolehkan suket menjadi dasar untuk memberikan suara dalam Pemilu. Dalam aturan KPU, KTP-el menjadi satu-satunya basis dasar bagi pemilih agar bisa mencoblos.

"Iya diubah (PKPU)," ujar Viryan kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (28/3).

Viryan melanjutkan, KPU akan menyesuaikan dengan putusan MK. "Terkait kontennya, nanti akan menyasar aturan yang awalnya mensyaratkan KTP- el sebagai satu-satunya dokumen kependudukan sekarang juga bisa menggunakan suket," tambah Viryan.

In Picture: Belum Punya KTP-El, Pemilih di Pemilu 2019 Bisa Pakai Suket

photo
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman didampingi Hakim Konstitusi membacakan putusan perkara uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (28/3).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement