Ahad 24 Mar 2019 10:22 WIB

Korupsi, Perbuatan Kejahatan yang Merusak (Ifsad)

Apa jadinya jika pemimpin partai Islam melakukan tindakan korupsi?

KH Didin Hafiduddin
Foto: Republika
KH Didin Hafiduddin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH Didin Hafidhuddin MSc

Hari Jumat, 15 Maret 2019, yang lalu kita dikejutkan oleh kejadian operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap seorang ketua umum sebuah partai dengan beberapa orang yang diduga terlibat korupsi dengan melakukan jual beli jabatan pada sebuah kementerian.

Kejadian tersebut menambah panjang daftar pejabat publik yang terlibat kejahatan yang merusak (ifsad), yang tidak saja merugikan negara secara finansial dan material, tetapi lebih dahsyat lagi secara moral dan spiritual serta akhlak bangsa.

Terlebih, yang melakukan hal tersebut orang yang sedang mendapatkan amanah sebagai pimpinan partai berlabelkan Islam dan kementerian yang terlibat pun adalah Kementerian Agama. Dua institusi tersebut seharusnya menjadi institusi yang mencerminkan kekuatan akhlak dan moral yang menjadikan masyarakat percaya kepada mereka.

Kita khawatir jika masyarakat sudah tidak percaya lagi pada institusi keagamaan dan tokoh-tokoh agama, mereka akan makin menjauh dari agama, bahkan bisa jadi memusuhinya.

Pasalnya, menurut Adian Husaini (2019), Eropa sekarang berubah menjadi sekuler liberal dan kapok dengan agama setelah pemuka-pemuka agama dan juga institusi keagamaan kehilangan legitimasi moralnya karena mereka korup dan rusak akhlaknya.

Karena itu, dalam perspektif Alquran, perbuatan yang sangat tercela itu harus dihukum dengan seberat-beratnya dan dinyatakan sebagai perbuatan fasad dan isfsad, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Maidah (5) ayat 33. “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”

Irfan Syauqi Beik dalam orasi ilmiahnya di hadapan sivitas akademika UIKA Bogor (2013) menyatakan bahwa korupsi memiliki dampak buruk terhadap berbagai hal, antara lain sebagai berikut.

Pertama, menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Chetwynd et al (2003), korupsi akan menghambat pertumbuhan investasi, baik investasi domestik maupun asing. Mereka mencontohkan fakta business failure di Bulgaria yang mencapai angka 25 persen.

Maksudnya, 1 dari 4 perusahaan di negara tersebut mengalami kegagalan dalam melakukan ekspansi bisnis dan investasi setiap tahunnya akibat korupsi penguasa.

Selanjutnya, terungkap pula dalam catatan Bank Dunia bahwa tidak kurang dari 5 persen PDB dunia setiap tahunnya hilang akibat korupsi. Sementara itu, Uni Afrika menyatakan bahwa benua tersebut kehilangan 25 persen PDB-nya setiap tahun juga akibat korupsi.

Yang juga tidak kalah menarik adalah riset yang dilakukan oleh Mauro (2002). Setelah melakukan studi terhadap 106 negara, ia menyimpulkan bahwa kenaikan 2 poin pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK, skala 0-10) akan mendorong peningkatan investasi lebih dari 4 persen.

Sementara itu, Podobnik et al (2008) menyimpulkan bahwa pada setiap kenaikan 1 poin IPK, PDB per kapita akan mengalami pertumbuhan sebesar 1,7 persen setelah melakukan kajian empiris terhadap perekonomian dunia tahun 1999-2004.

Tidak hanya itu, Gupta et al (1998) pun menemukan fakta bahwa penurunan skor IPK sebesar 0,78 akan mengurangi pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin sebesar 7,8 persen.

Hal tersebut menunjukkan bahwa korupsi memiliki dampak yang sangat signifikan dalam menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi (makin tinggi kenaikan Indeks Persepsi Korupsi maka makin rendah korupsinya, demikian pula sebaliknya).

Kedua, korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan sehingga kualitas pelayanan pemerintah terhadap masyarakat mengalami penurunan. Layanan publik cenderung menjadi ajang pungli terhadap rakyat.

Akibatnya, rakyat merasakan bahwa segala urusan yang terkait dengan pemerintahan pasti berbiaya mahal. Sebaliknya, pada institusi pemerintahan yang memiliki angka korupsi rendah, layanan publik cenderung lebih baik dan lebih murah.

Terkait dengan hal tersebut, Gupta, Davoodi, dan Tiongson (2000) menyimpulkan bahwa tingginya angka korupsi ternyata akan memperburuk layanan kesehatan dan pendidikan. Konsekuensinya, angka putus sekolah dan kematian bayi mengalami peningkatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement