Ahad 17 Mar 2019 21:38 WIB

Kasus Romi dan Komitmen Penegakan Hukum

Koalisi atau oposisi, sama derajatnya di mata hukum.

Rep: Abdullah Sammy/ Red: Muhammad Fakhruddin
Abdullah Sammy
Foto: Republika/Daan Yahya
Abdullah Sammy

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy/Jurnalis Republika

Pekan ini publik dikejutkan dengan peristiwa operasi tangkap tangan KPK terhadap Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Romahurmuziy. Respons langsung bermunculan di ruang publik. 

Baca Juga

Dalam tulisan ini, saya tak akan masuk pada substansi kasus yang hingga kini masih disidik KPK. Lebih baik bagi kita untuk menunggu hasil penyidikan KPK yang hingga kini terus berjalan. Bagaimanapun, kita wajib menjunjung asas praduga tak bersalah. 

Saya lebih ingin memotret kasus ini dari kacamata yang lebih besar besar. Sebab korupsi bukan baru terjadi pekan ini dan bukan hanya di Surabaya. Lebih dari itu, korupsi menjadi masalah yang terus mewarnai sejarah perjalanan bangsa. 

Korupsi tak memandang asal profesi, agama, suku, dan latar belakang politik. Lucu memang. Untuk urusan yang satu ini, ada harmoni yang melintasi batas koalisi dan oposisi.

Transparency International menyebut korupsi yang tak mengenal batas itu terjadi saat kekuasaan orang atau kelompok berada di atas hukum. Bahasa kerennya, impunitas. Menurut Transparency International, menghentikan impunitas adalah syarat nomor satu untuk menekan angka korupsi. 

Sejarah mencatat, praktik impunitas pernah terjadi di republik ini. Budaya kerajaan dan era kolonialisme di nusantara meninggalkan warisan impunitas. Hukum dan hak asasi manusia bisa dilanggar begitu saja dengan alasan kekuasaan.

Saat hak asasi manusia bisa dilanggar, maka korupsi pun tumbuh subur. Sebab pelanggaran HAM dan korupsi adalah 'saudara sepersusuan' yang bisa berjalan seiring sejalan. Keduanya sama-sama merupakan bentuk perampasan hak secara semena-mena. 

Sejarah mencatat, praktik impunitas melahirkan tragedi kemanusiaan dan korupsi pada 1835 di Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van Den Bosch dengan impunitas yang dimiliknya menerapkan sistem tanam paksa. Hak asasi manusia pun dilanggar dengan 'merampas' tanah-tanah milik rakyat demi memenuhi komoditas ekspor yang nilai jual dan pajaknya sudah ditentukan VOC. 

Setelah hak asasi rakyat dirampas, maka korupsi besar-besaran pun terjadi. Hasil tanam paksa dikorup di sana-sini. Dengan praktik impunitas, rakyat semakin menderita dan kolonial pun pesta pora.

Pancasila kemudian menjadi jawaban untuk menghentikan pengalaman pahit di era kolonial itu. Pancasila mengandung arti dan filosofi yang menggugat praktik impunitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak ada impunitas bagi satu orang pun di negara kesatuan Republik Indonesia.

Sila kedua Pancasila mempertegas penolakan bangsa ini terhadap diskriminasi hukum. Sebab bangsa ini dibangun atas dasar kemanusiaan yang adil sekaligus beradab. 

Sila kelima Pancasila juga merupakan sebuah tesis tegas bahwa bangsa Indonesia menolak segala bentuk impunitas. Sebab keadilan adalah milik seluruh rakyat Indonesia. 

Tidak ada yang memiliki impunitas di negeri ini. Mau dia koalisi atau oposisi, sama derajatnya di mata hukum. 

Sayangnya, praktik impunitas warisan kolonial masih terjadi sekalipun Indonesia telah merdeka. Di era Orde Baru, kekuasaan seperti menemukan jalan impunitas baru. Hak asasi manusia dirampas, korupsi pun diterabas.

Di era itu, kekuasaan seperti berada di atas hukum. Melontarkan gagasan kritis kepada negara, maka ancaman nyawa menjadi taruhannya. Sejak Orde Baru berkuasa sejumlah aktivis hilang dan tidak diketahui rimbanya. Selaras dengan itu, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tumbuh subur di segala lini. 

Segala praktik pelanggaran HAM dan KKN sulit terungkap akibat impunitas pemangku kekuasaan. Reformasi 1998 yang digelorakan pemuda mampu meruntuhkan segala sekat impunitas itu. Semangat Pancasila yang menolak segala diskriminasi akhirnya mampu mengembalikan  Indonesia pada tujuan awalnya.

Lantas mengapa pasca-reformasi yang menghentikan praktik impunitas itu korupsi tetap tumbuh subur? 

Memang untuk menghapus budaya yang mengakar sejak lama bukan seperti membalik telapak tangan. Butuh waktu dan komitmen kuat dari segenap pemangku kekuasaan untuk menghapus budaya korupsi. 

Komitmen yang paling utama adalah tetap konsisten menolak praktik impunitas. Sekalipun langit runtuh hukum harus tetap ditegakkan. 

Inilah sisi positif yang bisa kita rasakan saat ini. Siapapun itu orangnya, tidak kebal di hadapan hukum.

Kasus di Surabaya sekaligus mematahkan argumen segelintir pihak bahwa di era pemerintahan saat ini hukum hanya tajam kepada lawan politik, tapi tumpul kepada kawan. Ketegasan pemerintahan Jokowi menolak impunitas inilah yang patut diapresiasi.

Tapi di sisi lain, negeri ini belum benar-benar aman dari praktik impunitas. Salah satu indikasinya adalah kembali tampilnya tokoh-tokoh yang di era lalu pernah berkuasa dengan segala atribut impunitasnya. 

Mereka inilah yang kembali mempropagandakan kegagalan reformasi dan rindu pada kembalinya orde di masa lalu. Merekalah yang dengan sengaja menarasikan korupsi di era kini lebih marak dibanding era lalu. Padahal Transparency Internasional (TI) mencatat kenaikan signifikan angka indeks persepsi korupsi Indonesia di era pemerintahan Jokowi. 

TI mencatat pada 2018, indeks persepsi korupsi Indonesia tumbuh positif di angka 38 poin atau naik satu poin dibanding tahun 2017. Sedangkan sebelum Presiden Jokowi menjabat pada tahun 2013, indeks persepsi korupsi Indonesia berada di level 32 poin.

Dengan dasar fakta yang dilansir Transparency Internasional itu tentu kita tak ingin kembali ke Orde yang telah berlalu yang mana korupsi bisa tak tersentuh hukum. Saat di mana impunitas mengantarkan penguasa mengkorupsi harta sekaligus hak asasi manusia. 

Berdasar pada semangat untuk melawan impunitas pula agaknya relevan untuk kembali membuka sejumlah kasus di masa lalu. Hal ini demi menegakkan hukum yang sama bagi semua. Membuka kasus HAM atau korupsi di masa lalu sejatinya bukan merupakan bentuk politisasi, melainkan usaha untuk menutup ruang impunitas bagi siapapun warga negara. 

Siapapun dia sama derajatnya di mata hukum. Semua sama-sama harus dilindungi. Tapi siapapun orangnya juga harus siap dijeruji jika memang melanggaran hukum, apalagi merampas hak asasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement