Kamis 21 Mar 2019 15:25 WIB

KPU Pastikan Jumlah Pemilih Pindahan Terus Bertambah

KPU sedang melakukan rekapitulasi DPTb secara nasional.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Esthi Maharani
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Viryan Azis memberikan keterangan kepada wartawan di Jakarta Pusat, Jumat  (5/10).
Foto: Republika/Mimi Kartika
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Viryan Azis memberikan keterangan kepada wartawan di Jakarta Pusat, Jumat (5/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Viryan, mengatakan jumlah pemilih pindahan atau pemilih yang masuk golongan daftar pemilih tetap tambahan (DPTb) terus bertambah. KPU sedang melakukan rekapitulasi DPTb secara nasional.

Menurut Viryan, hingga Kamis (21/3) pagi, jumlah pemilih yang tercatat telah mengurus formulir pindah memilih sebanyak 669.737 orang. Jumlah itu terdiri dari 376.261 laki-laki dan 293.476 pemilih perempuan.

Dia melanjutkan, data tersebut tercatat dari dua kelompok, yakni pemilih yang mengurus pindah memilih di daerah tujuan dan pemilih yang mengurus pindah memilih di daerah asal mereka.

"Dan angka ini masih akan bertambah, karena sore hari ini akan dilaksanakan kegiatan rekapitulasi DPTb nasional sampai dengan esok hari," ujar Viryan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis.

Lebih lanjut, Viryan mengatakan pihaknya berharap Mahkamah Konstitusi (MK)segera memutuskan uji materi UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 terkait pemilih DPTb. Sebab, KPU sudah menghentikan pelayanan pengurusan surat pindah (formulir A5) terhadap pemilih DPTb pada 17 Maret lalu.

 

Sementara masih banyak pemilih DPTb yang masih dan belum mengurus formulir A5. "Kami sangat berharap ini (uji materi UU Pemilu) bisa segera diputuskan," tutur.

Viryan mengatakan pihaknya menghentikan pelayanan terhadap pemilih DPTb karena Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu mengharuskan KPU untuk melakukan pelayanan DPTb paling lama 30 hari sebelum pemungutan suara berlangsung. Konsekuensinya, kata dia, KPU tidak bisa melakukan pelayanan terhadap pemilih DPTb setelah 30 hari sebelum pemungutan suara berlangsung.

"Sementara sampai dengan kemarin kita masih mendapatkan informasi sejumlah pemilih belum bisa memilih di daerah asalnya. dalam artian yang bersangkutan tidak akan pulang kampung dan akan memilih di daerah tujuan. Namun, mereka belum mengurus formulir A5," terang dia.

Karena itu, Viryan berharap MK segera memutuskan uji materi UU Pemilu oleh dua kelompok, yakni 2 orang mahasiswa dari Kabupaten Bogor dan kelompok pegiat pemilu dan pegiat demokrasi. Salah pasal yang digugat oleh dua kelompok ini adalah Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu soal batas waktu pelayanan terhadap pemilih DPTb.

KPU, kata Viryan akan mengikut apapun keputusan MK soal uji materi tersebut. Bisa saja MK mengabulkan dengan memberikan batasan waktu pengurus DPTb sampai 3 hari sebelum pemungutan suara.

"Misalnya dikabulkan oleh MK, MK berpendapat seperti apakah bisa sampai dengan H-7, H-5, H-3 atau ada pendapat lain KPU akan mengikuti putusan dari MK," ungkap dia.

Begitu juga sebaliknya, jika MK memutuskan menolak atau tidak mengabulkan uji materi tersebut, maka KPU akan tetap mengikuti ketentuan yang sudah diatur oleh Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu.

"Karena apapun yang diputuskan tentu memiliki konsekuensi, misalnya MK memutuskan menolak atau tidak mengabulkan JR tersebut, maka KPU tetap akan melaksanakan kegiatan seperti kebijakan yang sudah ada," tambahnya.

Sebelumnya, dua mahasiswa yang berkuliah di Bogor mengajukan uji materi terhadap ketentuan pindah memilih dalam Pasal 210 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2) dan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu. Keduanya adalah Joni Iskandar sebagai pemohon I dan Roni Alfiansyah Ritonga sebagai pemohon II.

Joni Iskandar berasal dari Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Dia tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) tempat asalnya. Akibatnya, Joni tidak bisa mengurus pindah memilih ke Kabupaten Bogor dan terancam tidak bisa menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019.

Sementara Roni Alfiansyah Ritonga berasal dari Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara. Roni sudah tercatat dalam DPT di daerah asalnya. Kemudian dia telah mengurus keterangan pindah memilih ke KPU Kabupaten Bogor. Namun, Roni khawatir tidak bisa memilih karena ada potensi kekurangan surat suara. Roni pun merasa tidak puas akibat kepindahan itu. Dia hanya mendapatkan satu surat suara yakni untuk pemilihan presiden dan wakil presiden. Kedua mahasiswa ini pun berpandangan bahwa aturan pindah memilih berpotensi mencederai hak konstitusional mereka sebagai warga negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement