REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei yang dilakukan Konsep Indonesia menunjukkan, pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) Joko Widodo (Jokowi)-Maruf Amin unggul dari pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Selisih elektabilitas keduanya mencapai lebih dari 20 persen.
"Pada pertanyaan spontan jika pemilihan presiden dilakukan hari ini, 55 persen responden langsung menyatakan akan memilih Jokowi-Maruf, sementara yang akan memilih Prabowo-Sandi sebanyak 33,2 persen, yang belum memutuskan 11,8 persen" ujar Direktur Konsep Indonesia, Veri Muhlis Arifuzzaman, di Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (13/3).
Veri menyampaikan, ketika para responden diberikan kertas suara sebagai bentuk simulasi pencoblosan, pasangan Jokowi-Ma'ruf kembali unggul. Selisih elektabilitas dengan pemberian kertas suara bagi kedua pasangan calon itu mencapai 20,7 persen.
"Jokowi-Maruf 54,8 persen turun 0,2 persen dari top mind tadi. Prabowo-Sandi dipilih 34,1 persen dan undecided voters 11,1 persen. Ada gap selisih antara pasangan calon 01 dan 02 sebesar 20,7 persen," jelas Veri.
Survei itu dilakukan pada 17 hingga 24 Februari 2019 di 34 provinsi di Indonesia. Masyarakat yang berpartisipasi sebagai responden pada survei tersebut sebanyak 1.200 responden. Margin of error survei ini kurang lebih 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Melihat hasil survei tersebut, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf, Ace Hasan Syadzily, merasa semakin yakin pasangan yang diusungnya akan menang. Ia mengatakan, dalam kurun waktu 35 hari sampai Pemilu 2019 dilaksanakan, selisih elektabilitas lebih dari 20 persen sulit untuk dikejar.
"Walaupun tentu kami kalau dikejar ya lari juga. Dengan cara kemudian menaikkan (elektabilitas) sesuai target kita 70 persen," ungkapnya.
Di samping itu, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Viva Yoga, yang turut hadir pada kegiatan tersebut juga memberikan pendapatnya. Ia tak begitu menanggapi hasil survei terkait elektabilitas tersebut. Menurutnya, belum tentu hasil survei sama dengan hasil pemilu.
Ia mengambil contoh beberapa survei pada saat pemilihan kepala daerah (pilkada). Salah satu contoh yang ia ambil, yakni Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu. Saat itu, Basuki Tjahaja Purnama beberapa kali diunggulkan di lembaga survei, tapi hasilnya akhirnya menunjukkan sebaliknya.
"Elektabilitas cincailah, bisa naik turun. Saya tidak mau membahasnya. Jadi beberapa survei di DKI aja hasilnya salah. Ini tergantung kredibilitas dari lembaga survei itu sendiri," ungkap Viva.