Kamis 14 Mar 2019 05:01 WIB

PKI Versus Masyumi: Jejak Konflik dan Survei di Pemilu 1955

Simpatisan Masyumi dan PKI dalam ajang kampanye Pemilu 1955 sering berkonflik.

Sukarno di Pemilu 1955.
Foto: Gahetna NL
Sukarno di Pemilu 1955.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Kampanye pemilu di negara mana pun selalu berlangsung panas. Tak terkecuali pada Pemilu 1955 yang disebut-sebut sebagai pemilu terbaik yang pernah dilaksanakan setelah 10 tahun Indonesia merdeka dan berdaulat.

Kisah panasnya kampanye terekam jelas dalam berbagai domumen tulisan lama yang menyoal soal tersebut. Anggapan Pemilu 1955 bersih sekali atau "suci" dari konflik dalam kampanye tak sepenuhnya benar. Sebab, dari banyak catatan, ada juga partai yang saat itu disebut banyak juga memakai fasilitas negara. Bahkan, pada ajang kampanye, pentolan partai peserta pemilu kala itu juga sempat akan digebuki massa. Dan saat itu juga tergambar jelas pertarungan yang keras serta sengit antara PKI dan partai besar yang antikomunis, yakni Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sutan Syahrir.

Soal sengitnya persaingan itu tecermin pada sebuah kisah ajang pertemuan atau kampanye yang digelar di Alun-Alun Malang pada 28 April 1954. Situasi ini hampir saja tak terkendali serta hampir saja memakan korban seorang orator kampanye yang kala itu menjadi elite PKI, yakni DN Aidit. Wakil Partai Komunis Australia Eric Aarons juga didaulat ikut berpidato kala itu.

Saat itu, di Alun-Alun Malang digambarkan suasana adanya selembar spanduk yang dipasang tak jauh dari podium kampanye. Isinya memang mengecam seteru utama PKI, yakni Masyumi. Isinya penuh kata peyoratif kepada partai Islam pimpinan M Natsir. Masyumi disamakan dengan perampok: “Kutuk teror perampok Masjumi-BKOI.”

Bila ditelisik, munculnya spanduk bernada makian itu adalah respons atau balasan dari demontrasi yang dilakukan Masyumi-BKOI beberapa hari sebelumnya di Jakarta, yakni pada tanggal 24 April 1954. Kala itu, demontrasi berlangsung rusuh. Seorang perwira TNI, Kapten Supartha Widjaja, menjadi korban tewas kekisruhan massa.

Alhasil, spanduk di Malang itu adalah pembalasan. PKI menganggap aksi demonstrasi di Jakarta sebagai teror. Sebaliknya, bagi Masyumi, spanduk yang terpampang dalam sebuah podium kampanye PKI di Malang itu merupakan fitnah. Itu karena BKOI organisasi sayap yang berfiliasi dengan Masyumi, yakni Badan Koordinasi Organisasi Islam.

photo
Ketua Umum PKI DN Aidit berkampanye di Pemilu 1955.

Emosi masa Masyumi teraduk-aduk ketika melihat spanduk yang terpampang di dekat podium kampanye PKI itu. Kemarahan mereka semakin bergelora setelah mendengar pidato DN Aidit di atas podium tersebut. Aidit dalam pidatonya mengatakan begini:

“Nabi Muhammad SAW bukanlah milik Masyumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masyumi. Memilih Masyumi sama dengan mendoakan agar seluruh dunia masuk neraka. Masuk Masyumi itu haram, sedangkan masuk PKI itu halal,” kata Aidit.

Mendengar ujaran pidato Aidit, masa Masyumi yang ikut melihat dan hadir dalam ajang langsung berteriak ribut. Ucapan Aidit langsung ditanggapi dengan teriakan: “Dusta ... tidak benar ... ingat Madiun,” ujar para pemuda Masyumi. Kisah ini diceritakan atau diberitakan dengan mengutip koran milik Masyumi, Abadi, edisi 17 Mei 1954.

Dari kisah yang ditulis harian Abadi itu, massa ternyata tak cukup hanya berteriak mengecam Aidit. Mereka pun merangsek ke depan untuk mengerubungi podium. Tujuannya untuk bertemu Aidit secara langsung sekaligus memintanya mencabut kata-kata yang baru saja diucapkan. Suasana panas terjadi. Untunglah keadaan dapat terkendali sehingga tak memakan korban. Aidit berhasil diselamatkan setelah dia bersedia mencabut kata tersebut dan meminta maaf.

“Saya minta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak antiagama,” ujar Aidit mengoreksi. Aidit kemudian berhasil selamat dari amuk massa berkat upaya Ketua Masyumi Surabaya Hasan Aidid yang kala itu mampu melindungi sang Ketua Umum PKI dari amuk massa. Namun, kericuhan kecil tetap sempat terjadi. Massa Masyumi kala itu merampas semua atribut kampanye PKI.

Melihat situasi itu, surat kabar yang menjadi corong PKI, Harian Rakjat, pun tak mau kalah dari Abadi. Koran itu kemudian menurunkan berita bahwa kejadian di Malang tersebut merupakan usaha pembunuhan terhadap Aidit. Tak hanya itu, Ketua Masyumi Surabaya Hasan Aidid yang berhasil menyelamatkan Aidit dari amuk massa malah dituduh sebagai otak keributan.

Harian Rakjat menulis berita begini: “Dua ratus ribu Rakyat Malang menjadi saksi bahwa Hasan Aidid dan komplotannya mengepalai percobaan teror terhadap DN Aidit itu dan sama sekali bukan 'melindungi jiwa Aidit.'" Tulisan di Harian Rakjat ini terlihat jelas mengomentari pemberitaan Abadi. (Kisah seperti ini juga banyak ditulis di buku lain, misalnya mengenai penyebaran Islam di Jawa, karya sejarawan MC Ricklefs).

photo
Poster kampanye Pemilu Masyumi di Pemilu 1955

Dan dengan mengutip Remy Madiner, seperti yang ditulis majalah Historia, ada kisah yang senada. Penulis buku Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral ini menyatakan, peristiwa yang terjadi di Malang dalam ajang kampanye Pemilu 1955 tersebut merupakan bentrok terbesar antara Masyumi dengan PKI sepanjang tahun 1954. Kala itu, pemilu memang masih akan terselenggara setahun ke depan, tetapi suasana panas sudah terjadi. Bahkan, iklim politik disebutnya sudah mendidih dipuncak ubun-ubun begitu banyak orang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement