Kamis 14 Mar 2019 05:01 WIB

PKI Versus Masyumi: Jejak Konflik dan Survei di Pemilu 1955

Simpatisan Masyumi dan PKI dalam ajang kampanye Pemilu 1955 sering berkonflik.

Sukarno di Pemilu 1955.
Foto:
Kampanye Masyumi di Pemilu 1955

Rekaman suasana ajang kampanye yang panas, yakni perseteruan antara PKI dan Masyumi, terlihat jelas bila mengacu pada kisah jurnalis senior Alwi Shahab. Dalam sebuah tulisannya di Republika, ia menceritakan, ajang kampanye pemilu semenjak dahulu hingga sekarang memang selalu menjadi sumber keluhan. Pemilu yang kala itu berlangsung pada 29 September 1955 juga mempunyai hal yang tak mengenakan. Ajang Panitia Pemilu Indonesia (PPI) sebagai KPU-nya saat itu juga menjadi ajang atau tumpuan alamat komplain para peserta pemilu.

Surat kabar Trompet Masjarakat (yang 10 tahun kemudian dilarang terbit pascatragedi G-30-S/PKI 1965 karena redaksinya dianggap mendukung gerakan ini), misalnya, melancarkan kritik cukup menyengat terhadap cara kerja PPI. "Perlu dijewer kupingnya," tulis harian ini pada edisi 28 September 1955.

Selain itu, Trompet Masjarakat juga menulis suasana ajang kampanye di Jakarta menjelang hari pencoblosan. Katanya: "Di Jakarta Raya saja, sampai 27 September 1955 (dua hari jelang pemilu) masih banyak orang yang belum mendapat surat panggilan. Di samping banyak yang namanya ditulis salah. Kalau di Jakarta saja keadaannya sudah begini, bagaimana dengan daerah lain."

"Rupanya orang-orang yang duduk dalam PPI terlalu banyak percaya pada laporan-laporan yang masuk, tetapi tidak menanyakan dengan kepala sendiri," tulis harian tersebut. Trompet Masjarakat juga menulis berita mengenai banyaknya orang yang belum mendapatkan panggilan ke TPS-TPS. Harian ini juga menuduh: "Orang-orang PPI lebih banyak kerja di belakang meja sembari ongkang-ongkang kaki."

Menurut Abah Alwi, panggilan akrab Alwi Shahab, surat-surat kabar lain terbit kala itu juga memberitakan suasana hari terakhir kampanye di Jakarta yang berakhir 24 September 1955 hingga pukul 24.00. "Waktu itu memang tidak ada jadwal kampanye dari masing-masing parpol seperti yang ditetapkan sekarang dan enam pemilu di Orde Baru. Partai-partai besar saat itu seenaknya saja berkampanye sewaktu-waktu tanpa ada pembatasan,'' tulis Alwi Shahab.

Gambaran tersebut pas dengan cerita budayawan Betawi Ridwan Saidi ketika bercerita soal suasana kampanye Pemilu di 1955. Katanya, ajang kampanye PKI di Jakarta diramaikan pementasan musik keroncong, sedangkan kampanye Masyumi disuguhi pentas musik dengan lagu-lagu irama Melayu. Sungguh suasana yang hiruk pikuk!

Tak hanya itu saja, pada hari terakhir menjelang pencoblosan Pemilu 1955 (kini lazim di sebut masa tenang), saat tersebut pun dimanfaatkan parpol-parpol untuk berkampanye hingga tengah malam. Para juru kampanye dengan bermobil--ada juga yang naik delman dan becak--mendatangi kampung-kampung. Para jurkam itu berkeliling sambil berteriak-teriak lewat corong atau pengeras suara mengemukakan program untuk menarik para pemilih. Siang harinya, beberapa parpol menggelar rapat umum di berbagai tempat dan lapangan.

Antusiasme masyarakat Jakarta menyambut kampanye pun tergambar dalam laporan di harian Pemandangan. "Rakyat di kampung-kampung banyak yang berbondong-bondong menyaksikan berdatangannya mobil-mobil kampanye. Mobil-mobil itu dilengkapi dengan pengeras suara dan masing-masing saling mengemukakan program partainya."

Alwi Shahab menceritakan, pada masa kampanye waktu itu, para pimpinan parpol lebih sering turun ke kampung-kampung untuk berbicara langsung dengan simpatisannya.

"Saya menyaksikan sendiri saat-saat Mohammad Natsir (Masyumi), Sukarni (Murba), dan Sutan Syahrir (PSI) datang ke kampung Kwitang. Mereka berbincang-bincang dan bersalaman dengan orang kampung, bahkan menyalami tukang becak," kata Mohammad Yusuf Rausin, penduduk kampung tersebut, kepada Abah Alwi ketika mengenangkan peristiwa kampanye Pemilu 1955. Waktu itu, kampanye menyusuri  kampung-kampung pun sudah dianggap lebih efektif.

photo
Kampanye PKI tahun 1955. (foto: mobgenic.com)

Bagaimana dengan cara kampanye PKI? Alwi Shahab menceritakan, Ketua CC PKI DN Aidit berkampanye ke kampung-kampung yang banyak simpatisan komunisnya. Kantor berita Antara memberitakan, Alimin, tokoh tua PKI, pada 10 September berkampanye di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.

Dikisahkan lebih lanjut oleh Abah Alwi, yang perlu diacungi jempol adalah dalam Pemilu 1955 tidak terjadi kerusuhan-kerusuhan seperti pemilu-pemilu sesudahnya, dan itu bukan berarti tidak ada persaingan keras antarparpol. Apalagi, para jurkam masing-masing kontestan diberikan kewenangan leluasa untuk menyampaikan program-program partainya, yang kadang-kadang menjurus pada agitasi dan secara sengit menyerang parpol yang menjadi lawan politiknya.

Meski begitu, katanya, permusuhan paling keras dalam masa-masa kampanye Pemilu 1955 memang terjadi antara Masyumi dan PKI, juga antara Masyumi dan PNI. Bahkan, pernah dalam sebuah kampanye Masyumi di Pelabuhan Tanjung Priok, tiba-tiba pengeras suara yang digunakan mati karena disabotase buruh-buruh pelabuhan yang sebagian besar simpatisan PKI.

Antara orang PKI dan Masyumi pun saling ejek dalam kampanye. Simpatisan mereka lazim bilang begini: "Jangan pilih Masyumi, nanti Lapangan Banteng diubah menjadi Lapangan Unta."

Ejekan itu pun dibalas oleh simpatisan Masyumi dengan ejekan pula: "Jangan pilih PKI, nanti Lapangan Banteng diubah jadi Lapangan Merah (nama Lapangan Kremlin di Moskow)."

Serunya suasana Pemilu saat itu membuat pers asing pun memberitakannya. Mereka meramalkan Masyumi akan mendapatkan kemenangan meyakinkan, kemudian disusul PNI, PKI, dan PSI.

Namun, ramalan (pada masa kini dipakai prediksi melalui survei), ternyata melenceng atau tak sepenuhnya benar. PNI malah keluar sebagai partai pemenang Pemilu 1955. Perolehan suara Partai pimpinan Bung Karno ini menyalip Masyumi dan NU. PKI, yang baru saja siuman dan bangkit lagi mulai tahun 1950, dalam ajang ini mampu menduduki peringkat keempat. Posisi PKI yang lumayan ini disebut sebagai pembuka jalan bagi tokoh seperti Aidit untuk menggapai posisi puncak di pentas politik nasional.

Yang paling mengagetkan adalah perolehan suara PSI. Para elite pandai kala itu banyak menyatakan partai politik pimpinan Bung Kecil ini sebagai kuda hitam. Partai ini  diramalkan mendapatkan suara signifikan. Namun, pada kenyataannya, PSI malah terlempar menjadi partai gurem atau kecil. Partai yang diketuai mantan perdana menteri pertama Indonesia Sutan Syahrir ini malah berada di peringkat kedelapan dengan perolehan suara yang hanya mencapai 2 persen saja.

photo
Sutan Syahrir berkampanye di Bali pada Pemilu 1955. (wikipedia.com)

Dan harus diakui, dalam Pemilu 1955, PKI memang menangguk suara besar. Partai berlambang palu arit ini kala itu mendapatkan suara demikian besar, terutama di Jawa Tengah. Partai komunis pada Pemilu 1955 ini mendapatkan 47 kursi, padahal di parlemen sementara mereka hanya punya 17 kursi. Sedangkan, Partai Nahdlatul Ulama (NU) yang baru saja memisahkan diri dari Masyumi menyabet 47 kursi dan unggul di dua provinsi: Jatim dan Kalsel. Sedangkan, Masyumi dan PNI sama-sama meraup 58 kursi dalam Pemilu 1955 itu. Masyumi memenangkan perolehan suara hampir di semua wilayah provinsi yang ada di Indonesia kala itu.

Nah, apakah cerita ramalan di Pemilu 1955 yang serupa dengan perkiraan hasil survei pada pilpres 2019 kali ini akan berulang? Jawabnya, entahlah. Sebab, tak hanya ramalan pemenang Pemilu 1955 yang meleset, hasil survei pada dua pillkada menjelang Pemilu 2019 (Pilkada DKI, Jawa Barat, dan Jawa Tengah) juga melenceng. Terjadi perolehan deviasi tentang pemenang dan perolehan suara yang sangat lebar. Bahkan, margin of error yang menjadi kelaziman dalam setiap survei yang hanya 3 persen, secara nyata, margin of error sangat lebar dan diolok-olok karena di sebuah pilkada ada yang sampai angka 20 persen.

Alhasil, ramalan atau survei di masa kini soal hasil pemilu, betapa pun canggihnya, tetap merupakan spekulasi. Statistik ternyata masih tetap tergolong bukan ilmu pasti. Wallahu'alam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement