Selasa 19 Feb 2019 16:58 WIB

Dilema Beasiswa, Dewa Penolong yang Kerap Disalagunakan

Tanpa beasiswa, pendidikan ibarat sayur tanpa garam

Ilustrasi Sarjana Muda Mencari Kerja
Foto: Foto : MgRol_92
Ilustrasi Sarjana Muda Mencari Kerja

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Muslimin

Beasiswa menjadi hal pokok dalam dunia pendidikan. Tanpa beasiswa, pendidikan itu ibarat sayur tanpa garam. Terutama bagi anak bangsa yang dalam kondisi ekonominya paceklik, tetapi memiliki cita-cita menuntut ilmu ke perguruan tinggi, beasiswa adalah dewa penolong.

Guna mencetak generasi cerdas tanpa memiliki sandaran biaya, pemerintah menggelontorkan anggaran untuk pendidikan. Ongkos yang dialokasikan untuk pendidikan selalu meningkat setiap tahun.

Sebagian anggaran pendidikan dialokasikan untuk beasiswa bagi para pelajar atau calon mahasiswa, menuju ke jenjang perguruan tinggi negeri di berbagai wilayah Indonesia. Merujuk UUD Nomor 20 Tahun 2003, penerima beasiswa merupakan pelajar berprestasi yang ingin melanjutkan kuliah tetapi terganjal biaya. Seleksi penerima beasiswa pun dilakukan Kemenristekdikti dengan ketat guna memastikan penerima beasiswa tepat sasaran.

Gemuknya anggaran pendidikan yang telah dikeluarkan pemerintah sejatinya untuk menunjang kebutuhan pendidikan bagi pelajar di Indonesia yang menjadi perhatian berbagai pihak. Apabila kebutuhan pendidikan itu terpenuhi, artinya kualitas penerus bangsa menjadi lebih baik.

Di awal 2018, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 444,131 triliun untuk pendidikan. Anggaran tersebut terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, anggaran sebesar Rp 149.680 triliun dialokasikan untuk pendidikan melalui belanja pusat.

Kedua, dana sebesar Rp 279.450 dialokasikan melalui transfer daerah dan dana desa. Ketiga, anggaran khusus untuk pembiayaan mendapatkan alokasi dana sebesar Rp 15 triliun (CNN 7/6/2018). Adapun dalam RAPBN 2019 anggaran pendidikan direncanakan mencapai sebesar Rp 487,9 triliun dan meningkat 9,86 persen dibandingkan realisasi anggaran pendidikan tahun 2014 mencapai Rp 444,1 triliun atau meningkat 38,1 persen.

Menyinggung soal beasiswa, pemerintah kembali menyuntikkan alokasi anggaran serta jumlah penerima beasiswa. Semisal beasiswa Bidikmisi dan BBP-PPA yang merupakan program bantuan biaya pendidikan bagi calon mahasiswa yang tidak mampu namun berprestasi.

Semula penerima program beasiswa Bidikmisi berjumlah 80 ribu mahasiswa kemudian terus meningkat menjadi 90 ribu mahasiswa. Beasiswa ini diperuntukkan bagi jenjang S1 dan S2.

Kemudian anggaran untuk program Bidikmisi melonjak mencapai Rp 99,6 triliun. Uang saku yang semula Rp 650 ribu per bulan bagi setiap mahasiswa dinaikkan menjadi Rp 750 ribu per bulan. Dana itu, selain untuk kebutuhan pendidikan, juga digunakan sebagai biaya hidup selama menempuh pendidikan.

Hanya saja, kualitas pendidikan di Indonesia belum sesuai yang diharapkan dalam artian skill dimiliki kaum terpelajar atau calon sarjana, belum diasah sedemikian rupa ketika terjun ke dunia kerja dan hal ini tidak sebanding dengan anggaran pendidikan yang terus disuntik setiap tahunnya.

Dengan jumlah rencana anggaran pendidikan yang semakin meningkat setiap tahunnya, pemerintah berharap agar kualitas pendidikan Indonesia akan menjadi lebih baik. Berkaca dari hasil survei Willis Towers Watson periode 2014 hingga 2016 mencatat tak kurang dari 10 perusahaan di Indonesia kerap kesulitan mencari lulusan perguruan tinggi yang mumpuni.

Kondisi ini memicu terjadinya pengangguran massal karena setiap tahun, berbagai universitas di Indonesia mencetak ratusan sarjana ala kadarnya, tanpa memikirkan SDM fresh graduate handal yang kemudian tidak terserap di perusahaan pencari tenaga kerja. Disebutkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kenaikan anggaran pendidikan yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini belum memberikan dampak pada perbaikan kualitas pendidikan di dalam negeri.

Bagi Sri Mulyani yang perlu dicermati, yakni terkait efektivitas pengajaran di kelas-kelas di sekolah tinggi. Artinya kualitas kurikulum serta metode pembelajaran menjadi sangat penting untuk mencetak calon sarjana berkualitas.

Kondisi tersebut salah satunya tercermin dari skor program Penilaian Siswa Internasional (PISA) di mana pelajar Indonesia yang hanya bertengger di posisi 403. Skor tersebut masih kalah jika dibandingkan raihan siswa Vietnam yang berhasil mencapai skor angka 525.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement