REPUBLIKA.CO.ID, MAMUJU— Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah meminta pemerintah dan aparat kepolisian menghentikan "pengadilan" pemikiran dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Penggunaan UU ITE untuk mengadili pemikiran sudah cukup digunakan karena akan berbahaya," kata Fahri dalam deklarasi Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi) Sulawesi Barat, di Mamuju, Senin (11/2) malam.
Dia menilai UU ITE tidak dimaksudkan untuk melarang orang bicara dan menyampaikan ide serta gagasannya, dan UU itu tidak berdiri sendiri sebagai UU Pidana Umum.
Menurut dia, UU ITE untuk lengkapi aturan yang ada di KUHP, karena unsur-unsurnya menyangkut siapa yang punya legal standing itu ada di KUHP
"UU ITE itu hanya bisa berdiri sendiri sebagai UU Administrasi Ekonomi sebagai pelengkap UU Resi Gudang, UU Penanaman Modal Asing yang kita buat dari tahun 2006-2008," ujarnya pula.
Fahri merasa kecewa dengan pemerintah yang merasa terganggu dengan ide dan kata-kata yang disampaikan masyarakat lalu dipidana dengan menggunakan UU ITE.
Menurut dia, seharusnya ide dan pemikiran masyarakat harus terus hidup, sehingga terus berdialektika bukan gampang menghakimi perkataan orang yang berbeda pilihan.
"Saya ingatkan, mengapa peristiwa Habib Rizieq tidak pernah selesai lalu memunculkan peristiwa 412 dan 212, karena adanya kebuntuan berpikir. Ketika itu, Ahok membuat pernyataan yang mengecewakan masyarakat lalu masyarakat ingin mendialogkan kepada pemerintah namun ditolak, sehingga memunculkan peristiwa 412 dan 212," katanya pula.
Fahri menyatakan, biarkan ide dan pemikiran masyarakat terus berdialektika serta berkembang, sehingga memunculkan gagasan bagaimana menjadikan Indonesia sebagai kekuatan lima terbesar di dunia.
Menurut dia, kasus seperti pemidanaan pemikiran yang dialami musisi Ahmad Dhani tidak perlu terjadi karena apa yang disampaikan Dhani tidak bisa dipidana.
Menurut dia, Dhani yang menulis pendapatnya di media sosial bahwa pendukung penista agama layak diludahi muka, sama artinya pendukung kriminalitas layak diludahi mukanya seperti pendukung begal, pendukung teroris, dan pendukung pemerkosa.
"Seolah-olah hukum diinterpretasi sepihak untuk kepentingan penguasa, tidak boleh seperti itu," katanya lagi.