Jumat 08 Feb 2019 21:59 WIB

Potensi Politik Uang di Pemilu 2019 Meningkat

Kemendagri mengajak semua pihak basmi bibit racun demokrasi berupa politik uang

Red: EH Ismail
Kemendagri menggelar Kemendagri Media Forum  (KMF) yang di gelar, Jumat (8/2), di Press Room Gedung A Kementrian Dalam Negeri, Jakarta Pusat.
Kemendagri menggelar Kemendagri Media Forum (KMF) yang di gelar, Jumat (8/2), di Press Room Gedung A Kementrian Dalam Negeri, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Potensi politik uang di Pemilu 2019 menjadi tema dalam Kemendagri Media Forum  (KMF) yang di gelar, Jumat (8/2), di Press Room Gedung A Kementrian Dalam Negeri, Jakarta Pusat. Dalam edisi ke dua di tahun ini, KMF membahas isu  politik uang di pusaran Pemilu 2019 dengan dimoderatori oleh Astri Megatari.

Hadir sejumlah narasumber seperti; Direktur Eksekutif  Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), August Mellaz, Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi, dan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen Kemendagri), Bahtiar.

Direktur Eksekutif  Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), August Mellaz membuka dengan pemaparan data yang menyebut  Politik uang di Pemilu 2019 berpotensi meningkat dari pemilihan umum 2014.

“Hal tersebut didasari sejumlah faktor. Pertama, sistem dan mekanikal pemilu tidak berubah dari 2014. Artinya, sisi personal atau orientasi kompetisi Pemilu masih berbasis calon legislative dibandingkan partai politik,” kata August.

Kedua, orientasi kompetisi Pemilihan Legislatif 2019 tetap berbasis pada sisi popularitas dan personalitas calon legislatif. Ketiga, untuk bisa terpilih, maka setiap calon legislatif tetap akan berupaya meningkatkan popularitasnya, meningkatkan aktivitas kampanye, dan secara personal membiayainya.

“Dari total laporan senilai Rp 427.151.741.325 oleh 16 partai politik. Total sumbangan calon legislatif Rp 337.856.293.303 atau 79,10 persen. Sedangkan partai 20,09 persen, sisanya sumbangan perseorangan. 79,10 persen penerimaan dana kampanye  dari calon legislatif, secara konsisten menunjukkan orientasi personal di Pileg 2019 sama kuatnya dengan Pileg 2014,” ujar August.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi mendefinisikan politik uang sebagai transaksi antara politisi atau parpol dengan pemilih. Ia mengaku pesimis Pemilu 2019 tidak dinodai dengan politik uang. Pasalnya, berdasarkan hasil penelitan pada tahun 2014, sebanyak 33 persen masyarakat mengaku menerima politik uang. Bahkan Indonesia menempati peringkat terbesar ke-3 di dunia dengan praktik politik uang negara demokrasi di dunia.

“2014, saya melakukan penelitian dengan berbagai metode pertanyaan pada responden, didapat bahwa sebanyak 33 persen masyarakat mengaku menerima praktik politik uang, artinya, 1 : 3 masyarakat menerima politik uang. Bahkan yang lebih menyedihkan, Indonesia menempati peringkat terbesar ke-3 di dunia dengan praktik politik uang di dunia,” tutur Burhanuddin.

Burhanuddin juga melihat kemungkinan politik uang akan menjadi hal yang masih akan ditemui pada Pemilu 2019. Pasalnya, aktor calon legislatif bertambah signifikan karena penambahan daerah pemilihan (Dapil) dan kursi di DPR maupun beberapa kursi di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota “Pertarungan antara  calon legislatif di Pileg 2019  akan lebih banyak aktor (Caleg)  dari 2014 karena Dapil dan kursi nambah, sementara media massa dan masyarakat lebih fokus pada Pilpres sehingga Caleg di lapangan akan lebih leluasa tanpa pengawasan” ungkap Burhanuddin.

Menanggapi keduanya, Kapuspen Kemendagri, Bahtiar menyebut lapangan pertarungan Caleg akan lebih terbuka luas dengan Pileg yang digabungkan pelaksanaannya dengan Pilpres.

“Ruang-ruang bibit politik uang sebagai racun demokrasi makin terbuka lebar dengan situasi sekarang ini. Apalagi kita melihat tawaran gagasan para kandidat di lapangan relatif kurang terungkap kepada pemilih apa yg menjadi ciri  pembeda masing-masing caleg dan sulit dibedakan perbedaan tawaran gagasan masing-masing caleg karena isunya fokus pada Pilpres,” kata Bahtiar.

Meski demikian, Bahtiar meminta semua pihak membasmi bibit racun demokrasi yang berupa politik uang ini agar tidak merusak kualitas demokrasi di Indonesia.

 "Kita harus memiliki sensitivitas untuk mengungkap cara-cara baru penerapan politik uang. Yang penting terhadap temuan para peneliti ini, bahwa kita siuman (sadar) bahwa ada keadaan yang memungkinkan adanya politik uang dan peluang adanya potensi kemungkinan peningkatan politik uang. Kualitas demokrasi kita jangan sampai

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement