REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyatakan kurang sepakat jika ada yang menyebut "golput" sebagai hak politik, karena WNI yang memenuhi syarat memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Hasto mengatakan upaya 'meng-golput-kan' masyarakat perlu dihindari.
"PDI Perjuangan kurang sependapat jika golput disebut sebagai hak. Karena setiap WNI yang memenuhi syarat, memiliki tanggung jawab untuk memilih pemimpinnya dan dipilih sebagai pemimpin," kata Hasto Kristiyanto menjawab pertanyaan wartawan di Kantor DPD PDI Perjuangan Jawa Timur, di Surabaya, Jumat (25/1).
Saat ditanya terkaitwacana golput sebagai hak politik, yang dimunculkan di media sosial, seperti memunculkan isu pasangan capres-cawapres fiktif Nurhadi-Aldo. Menurut Hasto, sah-sah saja setiap orang berkreasi di media sosial, tapi terkait hak politik memilih dan dipilih sebaiknya digunakan. Menyikapi wacana tersebut, menurut Hasto, sebaiknya yang makin dikuatkan adalah pendidikan politik bahwa pada pemilu lah saatnya bagi WNI yang memenuhi syarat sebagai pemilih untuk menggunakan hak pilihnya memilih pemimpin secara demokratis.
"Memilih pemimpin terbaik yang aspirasi," ucapnya.
Hasto menegaskan, justru yang harus dihindari adalah upaya "meng-golput-kan" WNI. Karena itu sebagai partai, kata dia, PDI Perjuangan selalu mendorong perbaikan daftar pemilih, mendorong KPU netral dan tidak berafiliasi pada pihak tertentu, baik kepada penguasa atau yang di luar pemerintahan.
PDI Perjuangan juga memperkuat peran Bawaslu, agar pemilu bisa berjalan lebih ideal dan tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu makin meningkat. Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf itu menambahkan, justru dengan kampanye positif dan debat capres-cawapres, diberharapkan golput makin berkurang, sehingga kualitas demokrasi Indonesia semakin meningkat.
"Konstitusi menjamin hak untuk memilih dan dipilih. Itu melekat sebagai satu kesatuan, sehingga saat mereka menyatakan diri golput, dia tak punya hak untuk dipilih juga," ujar Hasto.