Kamis 24 Jan 2019 18:22 WIB

Produksi Kopi di Jabar tak Maksimal, Ini Sebabnya

SCAI akan membina petani kopi dan barista di Jawa Barat.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Dwi Murdaningsih
Petani memetik kopi arabika saat panen massal dalam rangkaian festival panen kopi gayo di Rembele, Bener Meriah, Aceh, Rabu (21/11/2018).
Foto: Antara/Irwansyah Putra
Petani memetik kopi arabika saat panen massal dalam rangkaian festival panen kopi gayo di Rembele, Bener Meriah, Aceh, Rabu (21/11/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Sebagian besar petani kopi di Jawa Barat masih banyak yang menggunakan bibit pohon kopi belum bersertifikat. Hal ini membuat produksi kopi tidak optimal.

Selain itu, menurut Gubernur Jabar, Ridwan Kamil, petani memanenan secara asal-asalan. Serta, teknik pemerosesan kopinya pun belum optimal.

"Karenanya kopi asal Jabar atau java preanger belum bisa secara konsisten mempertahankan kualitas dan kuantitasnya," ujar Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil ini di Gedung Sate, Kamis (24/1).

Oleh karena itu, menurut Emil, Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersama Specialty Coffee Association of Indonesia (SCAI) akan mendampingi para petani sampai barista kopi di Jabar sehingga, bisa menghasilkan kopi java preanger yang berstandar dan memiliki konsistensi yang baik dalam hal kualitas dan kuantitas.

Menurut Emil, SCAI mengkritisi kurang maksimalnya ekosistem perkopian di Jabar. Dari bibit yang tidak masuk standar, teknik memanen yang asal-asalan, dan teknik pemrosesan yang tidak masuk standardisasi, menjadi penghalang kopi Jabar untuk mendunia.

Baca juga:

Mencicipi Java Orange Coco dan Lapis Legit Ann's Bakehouse

Menyeruput Secangkir Teh Talua Hangat di Sianok

Emil mengatakan, dengan pengelolaan yang tidak berdasarkan pengetahuan,  rasa kopi Jawa Barat tidak pernah konsisten jika diekspor. Padahal, kopi Jawa Barat disebut sebagai kopi paling baik yang ditunjang potensi geografis paling baik. Namun, belum menghasilkan kopi yang menurut para ekspert ini bisa jauh lebih berkualitas.

"Yang sama dengan Jabar itu hanya Papua, menurut mereka. Nah karena itu saya memutuskan bersama asosiasi ini akan bikin lembaga kurasi dan sertifikasi kopi," katanya.

Saat memanen, kata Emil, banyak petani yang memanen secara kasar tanpa pemilahan warna buah ceri kopi antara yang merah dengan yang hijau. Masih banyak juga yang menjualnya langsung tanpa pengolahan dan kepada tengkulak.

"Itulah kenapa orang Korea semangat bikin sekolah kopi di Jabar. Jadi semua itu melihat potensi besar, tapi pola perilaku mengolah memproses tidak ada standar yang baik," katanya.

Menurut Emil, dirinya bertekad selama lima tahun kopi Jabar harus punya tiga nilai. Pertama, kualitasnya seragam dan terbaik karena cuacanya paling memungkinkan. Kedua, brand menjadi lebih beken lagi. Ketiga, menyejahterakan petani karena kualitas yang baik menghasilkan ekonomi yang baik.

"Sayang ini anugerah ekonomi luar biasa tapi caranya dan ilmunya gak lengkap," katanya.

Jadi, kata dia, kalau kualitasnya baik maka pembeli dunia akan percaya, karena bukan katanya. Selain itu, nanti di tiap bungkus kopinya ada cap, datang dari bibit terbaik ada cap, dan datang dari panen yang baik cap. "Sehingga siapa yang mendapat capnya banyak tenang berarti itu kopi bener," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement