Rabu 23 Jan 2019 17:27 WIB

Akademisi Desak RUU Kekerasan Seksual Segera Diratifikasi

"Sangat mendesak disahkan karena kasusnya sudah banyak, penanganannya berantakan."

Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) membunyikan kentongan  dan pluit tanda bahaya di Taman Sansiro Fisipol UGM, Kamis (8/11). Tanda  bahaya diberikan atas darurat kekerasan seksual buntut belum selesainya  kasus pelecehan yang menimpa rekan mereka.
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) membunyikan kentongan dan pluit tanda bahaya di Taman Sansiro Fisipol UGM, Kamis (8/11). Tanda bahaya diberikan atas darurat kekerasan seksual buntut belum selesainya kasus pelecehan yang menimpa rekan mereka.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Wiyanti Eddyono mendesak Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual segera diratifikasi oleh DPR. Wiyanti meminta ratifikasi dilakukan sebelum Pilpres serta Pileg 2019.

"Sangat mendesak disahkan karena kasusnya (kekerasan seksual) sudah banyak, namun penanganannya masih berantakan," kata Wiyanti dalam dialog tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Yogyakarta, Rabu (23/1).

Baca Juga

Menurut Wiyanti, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual perlu segera diratifikasi menjadi UU karena peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini belum menyediakan skema perlindungan, penanganan, dan pemulihan korban yang komprehensif, terintegrasi, berkualitas, dan berkelanjutan.

"Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih belum berorientasi kepada hak korban tetapi justru lebih banyak berpihak kepada tersangka atau terdakwa," kata mantan ketua Komite Etik dalam kasus dugaan pemerkosaan mahasiswi UGM saat KKN pada 2017 ini.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah masuk sebagai prioritas nomor urut 1 dalam Prolegnas 2016 dengan pemrakarsa DPR RI. Pada 6 April 2017 RUU itu kemudian diputuskan sebagai RUU inisiatif DPR.

"Saya berharap bisa disahkan sebelum April 2019. Kalau (disahkan) setelah pileg atau pilpres 2019 nanti mulai lagi dari awal," kata dia.

Menurut dia, banyak kasus pemerkosaan yang sulit dibuktikan secara hukum karena bangunan hukum pidananya yang  dinilainya masih bermasalah. Ia mencatat hanya 10 persen kasus kekerasan seksual yang diproses di kepolisian dan tidak lebih separuhnya yang dilanjutkan atau divonis di pengadilan.

Menurut dia, kerap kali dalam kasus pemerkosaan selalu menempatkan perempuan dalam posisi bersalah (victim blaming) atas insiden pemerkosaan yang dialami. Hal itu, menurut dia, dipengaruhi oleh bangunan budaya di Indonesia yang lebih mengutamakan pihak laki-laki karena dinilai lebih rasional.

"Apalagi kalau perempuan atau korban dianggap memiliki perilaku yang tidak baik. Selama ini perempuan dianggap baik kalau tidak keluar malam. Prasangka-prasangka tentang perempuan yang baik ini yang kemudian meruntuhkan keberpihakan pada korban pemerkosaan," kata dia.

Selain itu, kasus pemerkosaan itu cenderung ditiadakan apabila telah muncul anggapan bahwa kedua belah pihak laki-laki dan perempuan melakukan hubungan seksual atas dasar suka sama suka karena mereka berpacaran. "Seolah-olah kalau pacaran itu tidak ada kekerasan," kata dia.

Ia menyebutkan berdasarkan data catatan tahunan pelaku kekerasan seksual di ranah privat atau personal Tahun 2018 yang dikeluarkan Komnas Perempuan yang paling dominan justru dilakukan oleh pacar dengan angka mencapai 1.528 dari 2.979 kasus, disusul ayah kandung 425 orang, paman 322 orang, ayah tiri 205, dan suami 192 orang.

Direktur Yayasan Center For Improving Qualified Activity in Life of People with Disabilities (Ciqal) Nuning Suryaningsih sepakat agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu dikawal semua pihak hingga menjadi UU."RUU itu penting karena selama ini justru korban kekerasan seksual penyandang disabilitas justru mengalami diskriminasi," kata dia.

Meski demikian, ia menilai ada sejumlah pasal yang perlu dipastikan dihapus dalam RUU itu. Salah satunya adalah Pasal 104 yang menyebutkan bahwa pemasangan kontrasepsi terhadap orang dengan disabilitas mental yang dilakukan atas permintaan keluarga berdasarkan pertimbangan ahli untuk melindungi keberlangsungan kehidupan orang tersebut tidak merupakan pelanggaran pidana.

Menurut dia, Pasal 104 itu muncul berdasarkan usulan salah satu orang tua yang memiliki anak disabilitas mental. Anaknya pernah menjadi korban kekerasan seksual dan kemudian hamil.

"Ketika orang tua itu mengusulkan pasal itu biar tidak terjadi kehamilan berikutnya dan menjaga agar anaknya tidak punya anak. Tetapi kan untuk kekerasan seksualnya nanti tetap bisa terus berulang," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement