Rabu 23 Jan 2019 12:21 WIB

Henriette Roland Holst dan Misteri Prabowo Baca Sajak

Puisi itu ada dalam kantong baju Subianto yang gugur dalam pertempuran Lengkong.

Henriette Roland Holst.
Foto: Wikipedia
Henriette Roland Holst.

Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah

''Apabila politik kotor, maka puisilah yang akan membersihkannya!" Ungkapan mendiang Presiden John F Keneddy ini sangat terkenal. Dia mengisyaratkan bila dalam politik semua serba tegang, keras, bahkan menang-menang, maka itu bisa terhapus bila para pelakunya membaca dan merenungkan puisi.

Uniknya di dalam pertarungan Pilpres dan Pileh 2019 yang kian 'sengit' ini, puisi atau sajak mulai dibawa-bawa. Dan makin seru dan membuat tanda tanya ketika karya sastra ini ikut dipakai saat Prabowo Subianto visi misi pencapres dalam pidato kebangsaan sekitar pada 14 Januri 2019. Dan publik pun jelas banyak yang bertanya siapa penulis sajak yang dibacakan Prabowo yang membaca sajak bertema  'generasi pengangkut batu'. Dia  terlihat sengaja merahasiakannya. Dan ini membuat publik semakin penasaran.

Kala itu, Prabowo hanya mengatakan sajak tersebut  ditemukan di kantung baju seorang perwira muda yang gugur dalam pertempuran di Banten pada tahun 1946. Isi sajaknya antara lain berbunyi sebagai berikut:

"Kita tidak sendirian. Beribu-ribu orang bergantung pada kita. Rakyat yang tak pernah kita kenal. Rakyat yang mungkin tak akan pernah kita kenal. Tetapi apa yang kita lakukan sekarang akan menentukan apa yang terjadi kepada mereka."

Dalam kazanah catatan sejarah, soal sajak tersebut ternyata pernah disinggung mendiang H Rosihan Anwar. Katanya, sajak itu kutipan dari puisi karya penyair Belanda, Henriette Roland Holst. Bagian lain puisi itu berbunyi: "Wij zijn de bouwers van de tempel niet. Wij zijn enkel de sjouwers van de stenen. Win zijn het geslacht dat moest vergaan. Opdat een betere oprijze uit onze graven."

photo
Prasasti bertulisan sajak Henriette Roland Holst di Taman Makam Pahlawan Tangerang. (foto Google.com)

Bagian sajak itulah yang diterjemahkan oleh Rosihan Anwar ke dalam bahasa Indonesia, dan diabadikan di tugu pualam Taman Makam Pahlawan Tangerang. Kita simak bait puisi terjemahan Rosihan Anwar: "Kami bukan pembina candi. Kami hanya pengangkut batu. Kamilah angkatan yang mesti musnah. Agar menjelma angkatan baru. Di atas kuburan kami lebih sempurna.

Lalu siapakah perwira muda yang gugur dan di saku bajunya terdapat puisi Henriette Roland Holst itu? Menurut catatan sejarah, perwira muda itu bernama Subianto Djojohadikusumo, berpangkat Letnan Satu. Bersama adiknya, Sujono Djojohadikusumo dan 35 perwira dan taruna Akademi Militer, Subianto gugur dalam insiden perundingan perlucutan senjata dengan tentara Jepang di Lengkong, Tangerang.

Peristiwa itu terjadi pada 25 Januari 1946. Dari Ikadaigaku ke STI Masa penjajahan Jepang (1942-1945) ditandai dengan penutupan semua lembaga pendidikan tinggi. Hanyalah atas desakan tokoh-tokoh pergerakan, tentara pendudukan Jepang mengizinkan tetap berdiri Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku), dan Sekolah Tinggi Farmasi (Yakugaku).

Pada 8 Juli 1945 bertepatan dengan 27 Rajab 1364, dengan persetujuan tentara pendudukan Jepang, di Jakarta diresmikan berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI). Jepang sebagai penguasa baru yang berhasil mengalahkan Belanda, bersikap jumawa. Salah satu sikap jumawanya, melarang pemuda, pelajar sekolah menengah, dan pelajar sekolah tinggi, memanjangkan rambutnya. Mereka harus menggunduli kepalanya, atau memanjangkan hanya beberapa centimeter saja.

Peristiwa penggundulan massal di kalangan mahasiswa Ikadaigaku, menimbulkan protes, dan kemarahan dari para mahasiswa. Pada peristiwa di bulan Oktober 1943 itu, nyaris terjadi penembakan terhadap mahasiswa yang melawan. Mahasiswa Ikadaigaku, mogok kuliah.

Sebagai ipaya mendinginkan emosi mahasiswa maka oleh 'Empat Serangkai' yani Ir Sukarno,  Drs Mohammad Hatta, KH Mas Mansur, dan Ki Hadjar Dewantara, tidak mencoba mendinginkan suasana. Namun sepenuhnya tak membawa hasil. Beberapa mahasiswa seperti Soedjatmoko, Bagdja Nitidiwirja, Suroto Kunto, dan Subianto Djojohadikusumo memilih keluar dari Ikadaigaku.

Maka ketika berdiri STI, Bagdja, Subianto, dan Suroto Kunto, mendaftar menjadi mahasiswa STI. Tiga bekas mahasiswa Ikadaigaku itu menjadi mahasiswa STI angkatan pertama, antara lain bersama Bachrum Rangkuti, Djanamar Adjam, M. Sjarwani, Achmad Buchari, Ahmad Nasuhi, Anwar Harjono, Muhammad Djanu, A Muchtar, Bermawi Said, Mahmud Idie, Adnan Sjamni, Zainal Abidin, Hasjim, Masmimar Makah, Makmur Harun, Darsjaf Rachman, A. Karim Halim, Siti Rahmah Djajadiningrat, Abo Rachmat, M. Dimjati, Maisaroh Hilal, dan Soebagijo Ilham Notodidjojo.

Dan yang menjadi Ketua PP STI Para mahasiswa STI angkatan pertama berasal dari sekolah menengah yang berbeda. Ada yang berasal dari Algemene Midelbare School (AMS), ada yang berasal dari Sekolah Menengah Tinggi (SMT), ada juga yang berasal dari Madrasah. Meskipun demikian, dalam pergaulan sehari-hari tidak terdapat sekat pemisah di antara mereka. Untuk lebih mengakrabkan hubungan di antara sesama mahasiswa STI, pada10 Juli 1945, dibentuklah organisasi intra kampus Persatuan Pelajar (sekarang Dewan Mahasiswa atau Badan Eksekutif Mahasiswa) STI.

Dalam musyawarah PP STI, Subianto Djojohadikusumo terpilih menjadi Ketua Umum. Dia didampingi oleh Suroto Kunto (Wakil Ketua I), Bagdja Nitidiwirja (Wakil Ketua II), dan Siti Rahmah Djajadiningrat (Sekretaris). Tempat kuliah STI adalah di Gedung Masyumi yang terletak di Jalan Van Heut Boulevard (kini Jalan Teuku Umar) No. 1, Jakarta.

Waktu istirahat, atau saat sedang tidak ada kuliah, ruang atas Gedung Masyumi yang cukup luas, dijadikan tempat mendiskusikan perkembangan keadaan. Kala itu, suasana anti-Jepang, hidup di kalangan mahasiswa STI. Selaku Ketua Umum PP STI, pada setiap kesempatan bertemu dengan teman-temannya di STI, Subianto selalu berbicara mengenai rasa kebangsaan dan sifat kepahlawanan.

Subianto juga memberi tahu mahasiswa STI tentang kekalahan tentara Jepang dan kemajuan pasukan Amerika Serikat. Suatu ketika, dengan penuh semangat Subianto memberi tahu teman-temannya bahwa Taiwan dan Guam telah jatuh ke tangan Sekutu. Pada kesempatan lain Subianto menginformasikan bahwa tentara Amerika telah mendarat di Filipina. Pada suatu hari di bulan Agustus 1945, Subianto datang ke Asrama Mahasiswa STI, Balai Muslimin Indonesia, memberi tahu seluruh penghuni asrama bahwa Jepang telah dibom oleh Sekutu.

Setelah memberi informasi penting itu, selama beberapa hari Subianto "menghilang", tidak pernah datang ke Kampus maupun Asrama STI. Beberapa hari kemudian, melalui seorang teman, Subianto mengirim pesan agar pada tanggal 15, 16, dan 17 Agustus 1945 para anggota PP STI berhati-hati dan meningkatkan kewaspadaan. "Pada tanggal-tanggal tersebut, akan terjadi suatu peristiwa yang sangat penting," pesan Subianto.

Waktu itu sebagai pemimpin mahasiswa STI, Subianto juga aktif dalam pergerakan pemuda radikal anti-Jepang dan prokemerdekaan. Pada tanggal 15 Agustus 1945 sore; Eri Sudewo, Sjarif Thayeb, Chandra Alif, Darwis, Karimuddin, Djohar Noor, Aboe Bakar Loebis, Wahidin, Nasrun Iskandar, Subadio Sastrosatomo, Subianto Djojohadikusumo, Wikana, Armansjah, Bonar SK, dan Chairul Saleh bertemu di halaman belakang Institut Koningin Wilhelmina, Jalan Pegangsaan Timur No. 15.

Maka kemudian hasil pertemuan para pemuda radikal itu menghasilkan kesepakatan: 1. Bung Karno dan Bung Hatta harus didesak supaya mau memproklamasikan kemerdekaan pada hari itu juga. 2. Wikana, Darwis, dan Subadio ditentukan sebagai utusan yang mendesak Bung Karno supaya menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan jangan sampai dinyatakan atas nama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 3. Pembagian tugas antara mahasiswa dan pemuda. 4. Diadakan persiapan untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang, dan segera diadakan pos-pos komando. Perebutan kekuasaan dan senjata, akan diadakan pada malam hari sesudah proklamasi.

Dan sebelum rapat, Subianto dan Subadio sesungguhnya sudah bergerak. Kedua pemuda itu menemui Bung Karno dan mendesak agar proklamasi dinyatakan sendiri oleh Bung Karno, tidak atas nama PPKI. Desakan Subianto dan Subadio ditolak oleh Bung Karno. Dua pemuda itu tidak berputus asa. Dari rumah Sukarno, Subadio dan Subianto menuju ke rumah Bung Hatta untuk mendesakkan hal yang sama. Seperti Sukarno, Hatta juga menolak desakan Subianto dan Subadio.

Kesaksian Bung Hatta tentang keikutsertaan Ketua Umum PP STI, Subianto Djojohadikusumo di dalam hari-hari yang memecahkan urat syaraf sebelum dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dikuatkan oleh kesaksian Bung Hatta. Menurut Hatta, semenjak gagasan Subianto mengenai pelaksanaan proklamasi yang disampaikan bersama Subadio pada 15 Agustus memang ditolaknya dan untuk beberapa waktu Subianto menjauhi Hatta.

Dan bagi Hatta, Subianto yang sejak zaman Jepang akrab dengan dirinya, memab sabgat akrab tidak ubahnya bagai anak sendiri. Ayah Subianto, Margono Djojohadikusumo adalah anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang dipimpin oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Sama dengan Hatta, Margono adalah pendukung ekonomi koperas. Ia kaget ketika Subianto menolak dan menjaga jarak.

"Tetapi, kemudian Subianto kembali kepada saya mengatakan bahwa pendirian sayalah yang benar. Sejak itu Subianto menerima tugas yang penting-penting dari saya yang diselenggarakannya dengan baik, sampai ia tewas di Serpong,

Memang pada suatu hari, Subianto juga menyerahkan sejumlah semboyan revolusi kepada mahasiswa STI, A. Karim Halim. "Lukis, dan tuliskan semboyan-semboyan revolusi ini di trem, kereta api, bus, dan tembok-tembok kota," pesan Subianto kepada Karim. Dan benar, pada suatu sore, 29 Agustus 1945, datang ke Balai Muslimin seorang perwira Pembela Tanah Air (PETA), bernama Otto Djajasuntara. Pucuk dicinta, ulam tiba. Otto ternyata seorang pelukis. Karim mengusulkan supaya Otto menuliskan berbagai semboyan revolusi titipan Subianto di tembok gedung, dan di berbagai tempat strategis.

Otto pun setuju. Kemudian di mulailah aksi operasi corat-coret dimulai dari pool trem di belakang Balai Muslimin, berlanjut ke Statsiun Senen, Gambir, Manggarai, dan lain-lain tempat. Penduduk Jakarta dan lain-lain kota gempar sekaligus gembira membaca berbagai slogan revolusi dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Gerakan corat-coret ini cepat menyebar ke berbagai kota seperti Bogor, Bandung, Cirebon, dan Semarang.

Dan menjelang Rapat Raksasa di Lapangan Ikada, 19 September 1945, Subianto pun memerintahkan mahasiswa STI dan warga Balai Muslimin untuk bergerak mengerahkan massa. Rapat di Lapangan Ikada menurut George McT Kahin adalah "demonstrasi kekuatan yang terkendali." Subianto memimpin STI hingga organisasi itu berubah menjadi Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) pada 2 Oktober 1945.

Jadi bagi banyak tokoh, kematian Subianto (dan kala itu juga kakaknya bersama yang juga wafat dalam pertempuran di Lengkong, Sugiono) kaget atas kabar itu. Dan mereka pun tahu bila ada sajak sajak tersebut di kantong baju Subiato.

Yang lebih mengagetkan, adiknya, yakni Sumitro Djojohadikusumo baru mendengar berita kematian kedua kakaknya itu sepulang dari menghadiri Sidang Dewan Keamanan PBB mengenai sengketa Indonesia-Belanda. Sumitro mendapat kabar itu persis dua pekan setelah kedua adiknya gugur. Sumitro yang biasanya tegar, kali ini menangis.

Maka ketika lahir anak lelakinya, Sumitro melekatkan nama adiknya itu kepada sang anak. Jadilah sang anak bernama: Prabowo Subianto. Sang keponakan inilah yang 73 tahun kemudian dengan bangga membacakan potongan sajak yang ditemukan dari saku baju pamannya. Sumitro mengaku, kematian dua adiknya di masa revolusi kemerdekaan telah memperkuat tekad untuk melawan Belanda dalam mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement