REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Masdar Farid Mas'udi menyatakan rasa kebinnekaan tidak boleh lekang atas dasar kepentingan elektoral semata dan sementara. Menurutnya, Indonesia adalah negara paling multikuktural sehingga hal tersebut adalah sebuah keniscayaan.
Masdar menegaskan, kebinekaan adalah milik semua warga negara Indonesia yang harus dijaga. “Para elite politik seharusnya mengedepankan persatuan dan kesatuan demi kekayaan keberagaman yang ada di Indonesia,” kata dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Selasa (15/1).
Dia juga menyampaikan tentang berbahayanya tindakan pelaku hoaks dan ujaran kebencian yang telah mencabik-cabik keutuhan bangsa. "Warga negara Indonesia juga harus lebih bijak dalam membaca konten-konten negatif yang saat ini semakin mudah didapatkan di media sosial,” kata Masdar.
Tenaga Ahli Bawaslu RI, Sulastio menyampaikan bahwa akhir-akhir ini informasi bohong atau hoaks sering muncul di tengah masyarakat. Hoaks berdampak buruk terhadap kualitas pesta demokrasi yang akan kita hadapi.
Saat ini, kata Sulastio, hoaks, fitnah dan ujaran kebencian semakin marak di ruang-ruang publik. Kondisi ini yang membuat kecurigaan dan perpecahan di tengah masyarakat.
"Namun Bawaslu selalu memantau aktivitas media sosial terkait konten atau berita yang berbau hoaks dan melanggar UU Kepemiluan yakni bermuatan SARA, radikal, dan Hoaks," ujar Sulastio.
Menanggapi hal itu, pengamat etika komunikasi, Dodi Lapihu menjelaskan tentang perkembangan teknologi yang memiliki dua wajah yang saling bertentangan. Pada satu sisi teknologi mampu menciptakan perubahan ekonomi, sosial, politik, dan ketahanan bangsa.
Di sisi lain, teknologi mampu memecah-belah bangsa akibat derasnya arus komunikasi yang bermuatan hoaks dan fitnah. "Penyebaran hoaks melalui media sosial dapat menggiring opini publik sehingga mempolarisasi masyarakat dengan informasi palsu yang bersifat tendensius dengan sentimen terhadap SARA," ujarnya.
Menurut Dodi yang merupakan dosen di Universitas Katolik Atma Jaya ini, apabila hal ini dibiarkan, maka Indonesia semakin dekat dengan era post-truth. Masyarakat tidak lagi percaya dengan fakta obkektif, melainkan hanya percaya dengan informasi yang sesuai dengan keyakinan atau seleranya saja.
"Menjelang pesta demokrasi, penyebaran hoaks akan semakin marak. Masyarakat harus benar-benar jeli membaca berbagai informasi di media sosial. Para elit politik dan tokoh masyarakat juga harus mengedepankan etika komunikasi, yakni menyampaikan informasi yang benar, bukannya fitnah ataupun bermuatan kebencian," tutup Dodi.