REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ali Mansur, Fauziah Mursid
JAKARTA – Momentum pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kasus Novel Baswedan dikritik banyak pihak. Dibentuknya tim setelah 640 hari lebih peristiwa penyiraman air keras yang dialami penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu dikhawatirkan sekadar digunakan untuk kepentingan politik.
Ketua Hukum, HAM, dan Advokasi Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Razikin, meminta TGPF serius mencari otak pelaku penyerangan penyidik senior KPK itu. Keseriusan itu sekaligus sebagai ujian integritas kepolisian bahwa pembentukan tim ini bukan untuk kepentingan lainnya.
“Apakah pembentukan tim gabungan itu sungguh-sungguh untuk menuntaskan kasus yang menimpa Novel atau hanya sekadar dagelan politik untuk kepentingan debat capres (calon presiden) seperti penilaian sebagian kalangan,” kata Razikin, Ahad (13/1).
Secara normatif, kata Razikin, Pemuda Muhammadiyah mengapresiasi pembentukan tim gabungan itu. Menurut dia, setidaknya langkah tersebut sebagai bukti adanya keinginan menyelesaikan kasus Novel.
Razikin mengatakan, Pemuda Muhammadiyah berharap tim gabungan bekerja secara maksimal.
Pasalnya, ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi Polri dan beberapa akademisi yang ada dalam tim untuk membuktikan keberpihakan pada kebenaran, tentunya dengan membongkar sutradara di balik peristiwa.
“Sebab, jika tidak, kasus Novel Baswedan akan menjadi catatan buruk dan sejarah buram penegakan hukum di republik ini,” ujar Razikin.
TGPF itu dibentuk melalui surat yang ditandatangani Kapolri Jenderal Tito Karnavian dengan nomor Sgas/3/I/HUK.6.6/2019 tertanggal 8 Januari 2019. Surat tugas tersebut berlaku selama enam bulan, mulai 8 Januari 2019 sampai 7 Juli 2019. Dalam surat tersebut ditulis bahwa Tito Karnavian sebagai penanggung jawab dengan wakil penanggung jawab Wakapolri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto.
Sementara itu, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Idham Azis berlaku sebagai ketua tim, dengan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Nico Afinta sebagai ketua. Sejumlah ahli yang dilibatkan dalam tim tersebut adalah peneliti LIPI Hermawan Sulistyo, Ketua Umum Ikatan Sarjana Hukum Indonesia Amzulian Rivai, Ketua Setara Institute Hendardi, Komisioner Kompolnas Poengky Indarti, serta komisioner Komnas HAM periode 2012-2017 Nur Kholis. Dari KPK, ada lima penyidik yang dilibatkan.
Tim advokasi Novel, Haris Azhar, mengaku curiga pembentukan tim tersebut hanya untuk mengakomodasi kepentingan Pemilihan Umum (pemilu) 2019. Terlebih, TGPF dibentuk beberapa hari menjelang debat capres-cawapres. “Aneh, seolah bekerja pas mau debat,” ujar Haris.
Penilaian yang sama dilontarkan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane. Dia menganggap pembentukan tim gabungan kasus penyerangan terhadap Novel sarat kepentingan politik. Hal tersebut karena pembentukan tim gabungan dilakukan sepekan sebelum debat capres 2019.
“Karena masyarakat terus mendesak berbagai komponen, bahkan DPR. Kebetulan Presiden pernah janji, momentum tahun politik seolah-olah serius makanya buat tim,” ujar Neta.
Neta menyebut tim gabungan bertujuan mengesankan kepolisian dan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla serius dengan penanganan hukum, termasuk kasus Novel yang hingga saat ini belum terungkap. Namun, ia meyakini tim gabungan pun tidak akan mampu mengungkap aktor di balik penyiraman air keras terhadap Novel.
Pengamat komunikasi politik dari UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto, menilai isu Novel kemungkinan akan muncul dalam debat capres pertama terkait hukum, HAM, korupsi, dan terorisme. Menurut dia, kasus Novel tersebut bisa menjadi salah satu isu yang merugikan pasangan Jokowi-Ma’ruf.
Gun Gun menduga pembentukan tim gabungan kasus Novel sebagai langkah antisipasi bagi pasangan Jokowi-Ma’ruf. “Paling tidak di debat nanti Pak Jokowi bisa menjadikan semacam rujukan atau referensi power bahwa sudah melakuan sesuatu,” ujar dia.
Polri membantah anggapan bahwa pembentukan tim gabungan ini merupakan suatu keterlambatan. Terbentuknya tim tersebut ditandai dengan persetujuan Kapolri yang ditandatangani 8 Januari 2018, sedangkan rekomendasi Komnas HAM keluar pada 21 Desember 2018. Berdasarkan rekomendasi, tim harus dibentuk maksimal 30 hari setelah rekomendasi dikeluarkan.
BACA JUGA: Mengapa Pelaku Prostitusi Diperlakukan Berbeda?
“Paling lambat setelah 30 hari. Yang jelas, kita sangat tidak terlambat. Surat perintahnya tanggal 8 Januari sudah keluar,” kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Mohammad Iqbal.
(arif satrio nugroho ed: mas alamil huda)