REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden RI, Joko Widodo, dinilai perlu turun tangan untuk membentuk lembaga khusus untuk mengatur transportasi di Jabodetabek. Hal itu, menyusul pernyataannya yang menginginkan transportasi Jabodetabek segera terintegrasi.
Direktur Eksekutif Masyarakat Transportasi Indonesia, Deddy Herlambang mengatakan, Jokowi harus segera membentuk badan otonom yang berada di bawah komandonya langsung. Menurutnya, pembentukan badan otonom tersebut dapat dilakukan untuk menghindari gesekan kepentingan antarinstansi.
Ia mengungkapkan, sebenarnya wacana penghubungan antarmoda sudah direncanakan di era Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah melalui diskusi panjang, terbentuklah Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) di era Joko Widodo di bawah komando Kementerian Perhubungan melalui Perpres nomor 103 tahun 2015.
Meski dibentuk dengan Perpres, BPTJ tidak memiliki wewenang untuk mengatur pemangku kebijakan lain seperti kementerian atau lembaga negara. Hal tersebut, mengakibatkan BPTJ tidak bisa membuat regulasi atau mengelola lembaga-lembaga terkait.
"Jadi ada masalah juga karena BPTJ hanya sebagai lembaga saran, riset, rekomendasi namun tidak mempunyai kekuatan hukum yang bisa mengikat, melakukan punishment ataupun bisa membuat suatu regulasi untuk mengatur operator seperti kereta api, Transjakarta, Raillink, LRT, dan lainnya," kata dia kepadaRepublika, Rabu (9/1).
Menurutnya, hal itu berpotensi para operator penyedia layanan transportasi berjalan dan membuat kajian masing-masing tanpa koordinasi dengan instansi lain.
Sementara itu, menurut pengamat transportasi, Darmaningtyas menyampaikan, BPTJ harus menjadi lembaga setingkat dengan kementerian. Karena, jika BPTJ berada di bawah Kementerian Perhubungan, maka
kementerian dan lembaga penyedia transportasi akan resisten terhadap rekomendasi BPTJ.
"Waktu era SBY sempat direncanakan setingkat kementerian, tapi beberapa lembaga khawatir perannya akan diambil (oleh BPTJ)," katanya kepada Republika.
Ia menyatakan, untuk mengintegrasikan transportasi di Jabodetabek, pemerintah perlu mengentaskan egoisme sektoral dan kewilayahan pemangku kebijakan. Selama ini, ia menilai pemangku kebijakan asih bergerak sendiri-sendiri.
"Yang penting ego sektoral atau kewilayahan itu tidak ada. Kalau egoisme itu masih ada, itu sulit. Kuncinya ada pada manusia-manusia yang tidak egois," kata dia.