REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Pakar komunikasi dari Universitas Jenderal Soedirman Edi Santoso menilai pemberitaan mengenai prostitusi daring cenderung menempatkan perempuan sebagai objek. Hal itu nampak dari berita yang langsung berfokus pada sosok si artis.
"Mulai dari fotonya, aktivitas selama ini, gaya hidupnya, semua diekspos sedemikian rupa," kata Edi Santoso di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Selasa (8/1).
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman itu menjelaskan, semestinya banyak pilihan pembingkaian berita dari kasus tersebut. Misalnya, pembingkaian berita mengenai pengungkapan jaringan prostitusi daring itu sendiri.
"Taapi yang saya simak, bingkai beritanya atau pembingkaian beritanya merupakan frame laki-laki. Menempatkan perempuan sebagai objek seksual. Cenderung seksi, memang," katanya.
Bagi laki-laki, kata dia, frame objek seksual memang menarik. "Ada kasus prostitusi, melibatkan artis, tarifnya selangit. Bahkan bisa saja, hanya dengan menampilkan foto cantik sang artis, imajinasi laki-laki sudah terbangkitkan. Ini yang lebih diafirmasi oleh media. Hasilnya, berita dengan low taste content," katanya.
Menurut dia, prostitusi adalah masalah sosial dan bukan tentang perempuan semata. "Perempuan hanya salah satu bagian yang terlibat. Ini jejaring, kalau dianalogikan pasar, kan ada produk, pembeli, sistem, dan lain sebagainya. Perempuan mungkin hanya mewakili satu bagian dari itu, tetapi mengapa menjadi pusat perhatian?" katanya.
Ia menambahkan, dalam ilmu jurnalistik, ada istilah news value atau nilai berita. "Dan bahasan seksual sering disebut sebagai salah satu nilai berita yang tak ada matinya. Namun kasus ini mestinya dilihat secara lebih fundamental. Temukan akar masalahnya," katanya.