REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Kepolisian Daerah Sumatra Barat (Polda Sumbar) menilai belum adanya payung hukum terkait perilaku Lesbian, Gay, Transgender, dan Biseksual (LGBT) menjadi ganjalan bagi aparat untuk melakukan penindakan.
Menurut Kapolda Sumbar Irjen Pol Fakhrizal, sanksi yang dijalankan di wilayah Sumatra Barat bagi pelaku LGBT masih sebatas sanksi sosial dan adat saja. Ia mendesak pemerintah pusat dan parlemen untuk segera mengesahkan Undang-Undang yang secara spesifik mengatur tentang LGBT.
"UU-nya belum ada, sehingga lebih ke sanksi sosial. Solusinya selama ini, dengan sosialisasi an FGD tentang LGBT. Mudah-mudahan dibuat UU-nya supaya kami gampang gerak," kata Fakhrizal, Senin (31/12).
Memang ada perkembangan terbaru, poin yang mengatur tentang LGBT akan dimasukkan dalam RUU KUHP. Namun, ujar Fakhrizal, hingga saat ini belum terealisasi. Karena itu sanksi sosial dan adat dianggap masih menjadi solusi aman untuk menindak pelaku LGBT.
Sebelumnya, Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit menyebutkan, pihaknya sedang mematangkan rancangan peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang LGBT. Nantinya, penamaan Perda tidak akan secara gamblang disebut 'Perda tentang LGBT'.
Hanya poin-poin yang menyangkut LGBT akan diselipikan dalam tubuh perda yang ditargetkan bisa terbit 2019 tersebut.
"Kenapa ini kita perhatikan? Karena secara hukum mereka (pelaku LGBT) tidak bisa ditindak pidana karena memang tidak ada payung hukumnya. Dengan Perda ini minimal Satpol PP bisa lakukan operasi," jelas Nasrul.
Nasrul melihat bahwa persoalan LGBT mendesak untuk diatur. Ia mengutip data yang tercatat di RSUP M Djamil Kota Padang bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di Sumatra Barat per Desember 2018 menyentuh angka 1.860 orang. Dari angka tersebut, sekitar 70 persen ditularkan dengan perilaku LGBT.