REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Deretan rumah yang berada di pesisir pantai, Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, rusak akibat terjangan tsunami pada Sabtu (22/12) malam. Warga di desa itu pun masih mengungsi di posko pengungsian, dan beberapa tinggal di rumah kerabatnya.
Juleha (30 tahun) salah seorang warga Desa Teluk mengaku, rumahnya hancur sebagian akibat terjangan tsunami. Dinding belakang rumahnya roboh, termasuk dapur dan kamar mandi. Hanya tersisa bagian depan yang terdiri dari kamar tidur dan tempat kumpul keluarganya.
"Belum tahu nanti bagaimana. Sekarang masih tinggal di rumah keluarga," kata dia saat ditemui Republika di pesisir pantai, Desa Teluk, Sabtu (29/12).
Ia pun mengaku sama sekali belum mendapatkan bantuan. Padahal, ia merupakan korban terdampak langsung kejadian tsunami.
Menurut dia, bantuan lebih terpusat ke posko-posko pengungsian yang berada di daerah perbukitan. Sementara korban terdampak langsung sama sekali belum diperhatikan.
"Saya belum terima bantuan apa pun. Selama ini ngandelin keluarga (yang tak terdampak)," kata dia.
Hal serupa juga terjadi pada Usup (32), yang juga tinggal di Desa Teluk, Kecamatan Labuan. Rumahnya hancur sebagian akibat gelombang tsunami yang datang.
Lelaki yang berprofesi sebagai nelayan itu pun masih bingung melihat masa depannya. Kejadian tsunami yang datang sama sekali di luar dugaannya.
"Sama sekali nggak ada tanda-tanda," ujar dia.
Saat kejadian, Usup sebenarnya sedang melaut bersama kakaknya. Menurut dia, air laut ketika itu memang pasang. Namun, cuaca sangat cerah dan terang bulan.
Ia berangkat dari desanya sekitar Sabtu (22/12) subuh dan berniat mencari udang. Hingga petang datang, tangkapannya tak juga memuaskan. Karena itu, ia melanjutkan melaut hingga malam.
Namun, sekitar pukul 20.00 WIB ia melihat jelas Gunung Anak Krakatau mengeluarkan lava pijar. Ia mencoba menyampaikan kejadian itu kepada rekan-rekannya di daratan. Namun, berada di tengah laut membuat sinyal sulit tertangkap.
"Soalnya kata orang tua dulu, kalau Krakatau meletus itu tanda akan ada sesuatu yang besar," kata dia.
Satu jam setelah Anak Krakatau mengeluarkan laharnya, di tengah laut Usup melihat kabut besar di permukaan air. Tak yakin, ia mencoba menghindar.
"Seperti kabut, tapi dari air langsung besar ke atas," kata dia.
Usup dan kakaknya mencoba tenang. Pasalnya, di tengah laut tak ada dampak kabut itu dirasakannya.
Pada pukul 02.00 WIB, Ahad (23/12) ia baru merapat ke daratan. Saat itulah ia kaget banyak puing berserakan. Rumahnya pun hanya tersisa sebagian.
Hal pertama yang dilakukan adalah mencari anggota keluarganya. Beruntung, istri dan satu anaknya telah berhasil menyelamatkan diri ke tempat aman.
Usup pun memilih menepi dulu dari pekerjaannya mencari ikan di laut. Situasi yang belum kindusif, ditambah ombak yang masih tinggi membuat nelayan urung pergi melaut.
"Sekarang lihat-lihat saja dulu," kata dia.
Namun, ia tak tahu sampai kapan kondisi itu akan berlangsung. Rumahnya yang hanya tersisa sebagian tak memungkinkan lagi untuk ditempati.
Ia berharap pemerintah memberikan bantuan agar korban tsunami yang rumahnya mengalami kerusakan bisa kembali. Ia pun setuju, jika nantinya harus direlokasi ke tempat yang lebih aman.
"Ya itu gimana masyarakat yang lain juga. Tapi saya sendiri setuju ya. Demi keselamatan juga," kata dia.
Saat ini, rumah yang ditempati Usup dan keluarganya hanya berjarak tak lebih dari 50 meter dari bibir pantai. Ia berharap, jika nantinya direlokasi, lokasinya tak perlu jauh-jauh dari pantai. Dengan begitu, dirinya dapat tetap mudah datang ke pantai untuk melaut.