REPUBLIKA.CO.ID, LAMPUNG -- Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung kini menjadi sorotan, menyusul terjadinya tsunami di pesisir Selat Sunda pada Sabtu (22/12) malam. Tsunami itu ditengarai dipicu erupsi (letusan) gunung api di dalam laut di Selat Sunda yang induknya pernah meletus dahsyat pada 1883.
Namun, tak ada peringatan dini atau warning kewaspadaan dini dari pihak berwenang yang seharusnya disampaikan, saat diperkirakan berpotensi terjadi bencana tsunami di Selat Sunda itu. Kendati sebelumnya diketahui Gunung Anak Krakatau terus mengeluarkan letusan dan dilaporkan pada Sabtu petang kembali erupsi yang suara dentumannya terdengar hingga 47 km di kawasan pantai pesisir Pulau Jawa terdekat.
Warga di sekitar pesisir pantai Kabupaten Lampung Selatan, wilayah terdekat dengan gugusan pulau sekitar Gunung Anak Krakatau di Lampung, mengaku juga mendengar letusan itu. Bahkan, sejumlah warga menyatakan sempat melihat api berwarna merah menyala keluar dari puncak Gunung Anak Krakatau.
Warga kawasan pesisir kemudian menjadi panik dan khawatir terjadi bencana terutama gelombang pasang tinggi atau tsunami. Informasi ini pun menyebar luas, hingga ke kawasan pesisir Kota Bandarlampung, ibu kota Provinsi Lampung. Warga pun berhamburan keluar rumah untuk menyelamatkan diri, sejak Sabtu malam hingga Ahad (23/12) dini hari.
Namun, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tetap mengimbau masyarakat di sekitar pesisir pantai Provinsi Lampung, khususnya wilayah selatan tidak perlu khawatir akan terjadi tsunami.
"Kenaikan permukaan air laut yang terjadi Sabtu malam adalah fenomena umum pasang surut maksimum," demikian pernyataan BMKG, dalam rilis yang diterima di Bandarlampung, Ahad (23/12) dini hari itu.
Disebutkan bahwa fenomena umum pasang surut maksimum itu disebabkan karena adanya siklus astronomi tahunan seperti biasa. Artinya, kondisi itu adalah gejala normal, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan terjadi tsunami.
Berdasarkan pantauan peralatan yang dimiliki BMKG Lampung, tidak tercatat adanya gempa di sekitar Provinsi Lampung sebagai salah satu faktor pemicu terjadinya tsunami. Karena itu, BMKG mengimbau kepada masyarakat di sekitar pesisir pantai untuk tetap waspada dan tenang, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Warga diimbau segera kembali ke rumah masing-masing dan saling mengingatkan sesama warga agar tidak mudah termakan isu kabar bohong yang menyebar. BMKG menegaskan, bila diprakirakan akan terjadi tsunami atau ada gempa, pihaknya sebagai institusi resmi pemerintah akan memberikan peringatan dan informasi lebih lanjut.
Warga kawasan pesisir di Lampung Selatan dan Kota Bandarlampung, Sabtu (22/12) malam itu, telah dihebohkan oleh informasi adanya peningkatan pasang dan surut air laut, dan masyarakat menduga ini sebagai gejala tsunami. Masyarakat di sekitar Telukbetung, Bandarlampung berhamburan panik keluar rumah mencari tempat yang dianggap aman, menyikapi isu adanya tsunami.
Menurut warga sekitar Gudang Lelang, mereka mendapati air laut surut tiba-tiba, meskipun tidak merasakan guncangan akibat gempa sekitar pukul 22.00 WIB. Sebagian warga Gudang Lelang, Kelurahan Bumi Waras, Bandarlampung bahkan sudah mengosongkan kediaman mereka untuk naik ke daerah yang lebih tinggi seperti di kawasan sekitar Mapolda Lampung dan sekitarnya.
Warga Lempasing dan Panjang di Bandarlampung yang juga dekat dengan perairan laut, sebagian sudah mengungsi ke rumah-rumah saudaranya di daerah yang lebih tinggi. Keterangan dari warga sekitar, mereka sempat menerima kabar dari Kalianda, Lampung Selatan bahwa air laut sudah naik, sehingga mereka keluar rumah untuk menyelamatkan diri bersama keluarga.
Namun, sekitar pukul 23.00 WIB, setelah ada informasi dari pihak BMKG bahwa kenaikan air laut ini hanya fenomena pasang air laut, warga yang berhamburan keluar karena terdampak isu adanya tsunami itu, mulai pulang meski masih ada pula yang belum berani pulang dan memilih mengungsi ke tempat kerabat mereka yang dinilai lebih aman.
BMKG menjelaskan, pada 22 Desember 2018 pukul 22.00 telah terjadi kenaikan air laut hingga mencapai permukiman rumah warga di sejumlah kawasan pesisir Lampung. Berdasarkan data perkiraan pasang surut air laut dari Dishidros, pasang maksimum air laut terjadi pada pukul 18.00 - 19.00 WIB dengan tinggi hingga 1,5 meter.
BMKG menyampaikan pula analisis penyebab terjadi gelombang air laut pasang karena posisi terdekat antara bumi dan bulan yang akan terjadi pada tanggal 24 Desember 2018 atau yang disebut Perigee. Pasang laut purnama (spring tide) terjadi ketika bumi, bulan dan matahari berada dalam suatu garis lurus. Pada saat ini akan dihasilkan pasang naik yang sangat tinggi dan pasang surut yang sangat rendah. Pasang laut purnama ini terjadi pada saat bulan baru dan bulan purnama, demikian BMKG Lampung.
Erupsi Gunung Anak Krakatau
Kementerian ESDM, Badan Geologi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau menyampaikan pula, telah terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 17.22 WIB. Tinggi kolom abu teramati sekitar 1.500 meter di atas puncak (sekitar 1.838 meter di atas permukaan laut).
Dalam rilis diterima di Bandarlampung, Sabtu malam, berdasarkan laporan tim Kementerian ESDM, Badan Geologi, PVMBG Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau, menunjukkan kolom abu teramati berwarna hitam dengan intensitas tebal condong ke arah timur laut dan timur. Erupsi ini terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 58 mm dan durasi sekitar 5 menit 21 detik. Terdengar suara dentuman dan dirasakan getaran di Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau (kaca dan pintu pos bergetar).
Saat ini Gunung Anak Krakatau berada pada Status Level II (Waspada) dengan rekomendasi masyarakat/wisatawan tidak diperbolehkan mendekati kawah dalam radius 2 km dari kawah. Belakangan ternyata diketahui dan dipastikan, letusan Gunung Anak Krakatau itulah yang lantas memicu kejadian runtuhan material gunung ini ke dalam laut, sehingga memicu gelombang tinggi yang menimbulkan tsunami Selat Sunda.
Dampak tsunami Selat Sunda itu, ratusan warga di kawasan pesisir Lampung dan Banten tewas, ribuan terluka, dan ratusan masih hilang. Rumah-rumah warga di kawasan pesisir dua provinsi itu pun hancur dihantam gelombang tsunami.
Namun dalam kejadian bencana tsunami Selat Sunda ini, kenapa pihak berwenang sebelumnya tak mengeluarkan peringatan dini ancaman tsunami itu? Apakah peralatan pendukung tak berfungsi atau ada sebab lainnya?
Menurut Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sistem BMKG saat ini hanya mengeluarkan peringatan dini tsunami untuk aktivitas tektonik (proses gerakan pada kerak bumi yang menimbulkan lekukan, lipatan, retakan, patahan sehingga berbentuk tinggi rendah atau relatif pada permukaan bumi). Selain itu, jika ada kemungkinan tsunami akibat aktivitas vulkanik (gunung api), maka itu adalah wewenang Badan Geologi PVMBG.
Dia menyatakan, jika terbukti tsunami akibat aktivitas vulkanik maka ini adalah tsunami akibat vulkanik pertama semenjak Indonesia merdeka. Kejadian ini termasuk langka, sehingga BMKG akan duduk bersama dengan para pakar untuk membahas hal ini bersama-sama.
Pihak BMKG juga sempat meluruskan informasi bahwa deteksi dini fenomena erupsi gunung api dan dampaknya adalah wewenang otoritas Badan Geologi (khususnya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana/PVMBG), bukan wewenang BMKG.
BMKG juga menegaskan bahwa sampai saat ini belum ada yang bisa memprediksi atau metode yang bisa digunakan untuk menentukan kapan akan terjadi gempa dan juga tsunami. Sehingga masyarakat diminta untuk tidak menelan berita yang beredar dan tidak menyebarluaskannya.
Setelah sempat terjadi simpangsiur informasi terkait kepastian telah terjadi hanya berupa gelompang pasang maksimum atau sudah terjadi tsunami di Selat Sunda itu, belakangan setelah melihat fakta dan dampak di lapangan, akhirnya para pihak menyatakan benar telah terjadi tsunami di pesisir Selat Sunda pada Sabtu (22/12) malam itu.
Bencana Multievent
Berkaitan bencana tsunami Selat Sunda yang menerjang kawasan pesisir Lampung dan Banten pada Sabtu malam sebelumnya itu, telah disampaikan pers rilis bersama bencana Selat Sunda oleh Kemenko Maritim, BMKG, Badan Informasi Geospasial, BPPT, dan LIPI, serta Badan Geologi, Senin (24/12).
Isi siaran pers bersama itu adalah bencana di Selat Sunda saat ini merupakan bencana multievent yang diakibatkan oleh gelombang tinggi, tsunami, erupsi gunung api, dan longsor tebing kawah Gunung Anak Krakatau yang memicu tsunami. BMKG menyatakan siap untuk memback up peringatan dini tsunami akibat langsung atau pun tidak langsung dari erupsi gunung api yang dipantau Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (Badan Geologi), sehingga BMKG perlu untuk mendapat akses data gempa-gempa vulkanik yang ada di sistem peringatan dini Pusat Vulkanologi.
Pada tanggal 23 Desember 2018, pukul 18.30 sampai dengan 21.00 WIB telah dilaksanakan rapat koordinasi dengan agenda pembahasan kejadian tsunami tanggal 22 Desember 2018 di Selat Sunda, dengan peserta rapat Kemenko Maritim, BMKG, BIG, BPPT, LIPI, dan Badan Geologi ESDM. Berdasarkan data-data yang dihimpun dihasilkan kesepakatan bersama, yaitu BMKG memperoleh data tide-gauge pada 22 Desember 2018 sekitar pukul 22.00 WIB, 4 tide gauge di Selat Sunda mencatat adanya anomali permukaan air laut yang diyakini sebagai tsunami.
Tsunami yang terjadi bukan disebabkan oleh gempa bumi tektonik, namun akibat longsor (flank collapse) di lereng Gunung Anak Krakatau akibat erupsi Gunung Anak Krakatau. Kejadian longsor lereng Gunung Anak Krakatau tercatat di sensor seismograf BMKG di Cigeulis Pandeglang (CGJI) pada pukul 21.03 WIB, juga beberapa sensor di Lampung (LWLI, BLSI), Banten (TNG/TNGI, SBJI), Jawa Barat (SKJI, CNJI, LEM).
Hasil analisis rekaman seismik (seismogram) dari longsoran lereng Gunung Anak Krakatau setelah dianalisa oleh BMKG setara dengan kekuatan MLv=3,4, dengan episenter di Gunung Anak Krakatau. Faktor penyebab lepas material di lereng Gunung Anak Krakatau dalam jumlah banyak adalah tremor aktivitas vulkanik dan curah hujan yang tinggi di wilayah tersebut.
Bukti-bukti yang mendukung bahwa telah terjadi longsoran di lereng Gunung Anak Krakatau sebagai akibat lanjut dari erupsi Gunung Anak Krakatau yaitu deformasi Gunung Anak Krakatau berdasarkan perbandingan citra satelit sebelum dan sesudah tsunami. Citra satelit memperlihatkan 64 ha lereng Barat Daya Gunung Anak Krakatau runtuh, curah hujan tinggi pada periode waktu yang berdekatan dengan tsunami, model inversi 4 tide-gauge yang memperlihatkan bahwa sumber energi berasal dari Selatan Anak Krakatau dari analisa Badan Geologi, riset BPPT dan Universitas Blaise Pascal, Prancis yang dipublikasikan pada jurnal internasional.
Kini Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda menjadi sorotan dan perhatian. Padahal sebelumnya pihak Badan Antariksa Nasional AS (NASA) juga telah menyatakan memantau dan mengidentifikasi adanya aktivitas "luar biasa" terjadi pada Gunung Anak Kakatau beberapa waktu lalu.
PVMBG sebelumnya juga terus menerus melansir informasi aktivitas kegempaan Gunung Anak Krakatau ini. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung, Ahad (23/12) pagi, melakukan konferensi pers berkaitan dengan aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau, di Selat Sunda, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.
Kepala PVMBG Kasbani menjelaskan Gunung Anak Krakatau terletak di Selat Sunda adalah gunung api strato tipe A dan merupakan gunung api muda yang muncul dalam kaldera, pascaerupsi paroksimal tahun 1883 dari kompleks vulkanik Krakatau. Aktivitas erupsi pascapembentukan dimulai sejak 1927, pada saat tubuh gunung api masih di bawah permukaan laut. Tubuh Anak Krakatau muncul ke permukaan laut sejak tahun 2013.
Sejak saat itu dan hingga kini Gunung Anak Krakatau berada dalam fasa konstruksi (membangun tubuhnya hingga besar). Saat ini Gunung Anak Krakatau mempunyai elevasi tertinggi 338 meter dari muka laut (pengukuran September 2018). Karakter letusannya adalah erupsi magmatik yang berupa erupsi eksplosif lemah (strombolian) dan erupsi epusif berupa aliran lava.
Pada 2016 letusan terjadi pada 20 Juni 2016, sedangkan pada tahun 2017 letusan terjadi pada tanggal 19 Februari 2017 berupa letusan strombolian. Tahun 2018, kembali meletus sejak tanggal 29 Juni 2018 sampai saat ini berupa letusan strombolian.