REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Sejak ditetapkannya status Gunung Anak Krakatau (GAK) dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III), sejumlah warga desa dalam Kecamatan Rajabasa dan Kalianda pesisir Kabupaten Lampung Selatan meninggalkan rumahnya. Warga mengungsi ke dataran tinggi untuk menghindari terjadi tsunami susulan.
Berdasarkan pemantauan Republika, Jumat (28/12), sepanjang pesisir Kabupaten Lampung Selatan, mulai dari Desa Way Panas (Kalianda) hingga Way Muli dan Kunjir (Rajabasa), tampak sepi tak berpenghuni. Suasana hening dan sunyi kampung mereka, tak seperti biasanya penuh hiruk pikuk sehari-hari.
Bagi rumah-rumah yang belum tersentuh tsunami Selat Sunda, pemiliknya mulai mengungsi ke tempat-tempat tinggi, seperti sekolah, puskesmas, dan juga rumah-rumah lainnya yang berdiri di bukit-bukit. Warga khawatir sejak berubahnya status GAK menimbulkan gelombang tsunami susulan.
Sedangkan pemilik rumah korban tsunami yang hanya rusak tidak rata dengan tanah, juga sudah sejak bencana sebelumnya tidak lagi kembali ke rumah. Mereka mengungsi di dataran tinggi dan perbukitan Gunung Rajabasa. Salah seorang anggota keluarga mereka turun kembali ke rumah pada siang hari, hanya untuk berjaga perabotan rumahnya.
Weli, warga Desa Banding, Kecamatan Rajabasa, sudah lama meninggalkan rumahnya sejak kejadian bencana tsunami Sabtu (22/12) malam. Menurut dia, rumah-rumah di kampungnya sudah sepi dan tak berpenghuni lagi. Mereka mengungsi ke dataran tinggi.
“Saya hanya menjaga rumah siang hari. Kalau malam saya juga mengungsi ke tempat tinggi,” kata Weli kepada Republika, Jumat ( 28/12).
Ia menuturkan, rumah-rumah penduduk sudah sepi sejak kejadian pertama gelombang tsunami. Padahal, rumah-rumah di kampungnya banyak yang tidak tersentuh gelombang tsunami pada Sabtu malam pekan lalu. “Warga hanya banyak barang berharga saja, mengunci rumah, lalu mengungsi ke tempat tinggi,” ujarnya.
Sedangkan Mulyadi, warga Desa Way Panas, Kecamatan Kalianda, tetap berjaga di rumahnya yang masih rusak diterjang gelombang tsunami. Menurut dia, ia terpaksa menjagai rumahnya, karena perabotan rumah masih tersisa di dalamnya. Sedangkan anggota keluarganya sudah mengungsi ke sekolah yang berada di dataran tinggi.
“Saya masih jagain rumah, walaupun masih rusak kena tsunami. Perabotan masih belum kami bersihkan,” tutur Mulyadi, bapak tiga anak berprofesi sebagai nelayan bagan saat ditemui di depan rumahnya.