REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menegaskan kembali pentingnya alat pendeteksi bencana tsunami yang bisa meminimalisasi dampak kebencanaan. Terlebih setelah terjadinya tsunami "senyap" yang menyapu wilayah Banten dan Lampung pada Sabtu (22/12) malam.
“Sesegera mungkin, Indonesia harus membangun fasilitas alat deteksi Tsunami. Dalam hal ini BUOY Tsunami maupun CBT atau Cable Based Tsunameter," tegas Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) BPPT Hammam Riza, Senin (24/12).
Hammam menilai, selama ini masyarakat dan pemerintah selalu disibukkan dengan upaya penanganan pascabencana. Sementara upaya antisipasi masih sangat minim, bahkan belum menjadi fokus perhatian.
“Maka kita perlu membangun kemandirian teknologi peringatan dini sebagai komponen pembangunan nasional,” jelas Hammam.
Menurut dia, BPPT telah memiliki berbagai teknologi yang siap digunakan untuk mengantisipasi bencana gempa bumi serta tsunami. Sebagai salah satu aset pemerintah dalam bidang teknologi, BPPT pun merasa perlu mengoptimalkan peran Teknologi bagi kesiapan Indonesia dalam menghadapi bencana.
"Kita harus lebih advance dalam mengantisipasi bencana dengan menggunakan teknologi. Selain itu, sinergi dan komitmen yang kuat antar berbagai pemangku kepentingan juga dibutuhkan. Teknologi mampu berperan signifikan dalam upaya mengurangi risiko bencana,” tegas dia.
Sementara itu pakar tsunami BPPT, Widjo Kongko yang melakukan kaji cepat mengungkapkan adanya indikasi bahwa erupsi Anak Krakatau menjadi pemicu utama dari tsunami Selat Sunda tersebut.
"Kemungkinan besar terjadi flank failure atau kolaps akibat aktivitas Anak Krakatau Sabtu petang lalu dan akhirnya menimbulkan tsunami," kata dia.
Jika kajiannya betul, lanjut Widjo, maka fenomena tsunami seperti kemarin berpotensi akan kembali berulang.
"Aktivitas Anak Krakatau belum selesai, dan flank atau kolaps yang terjadi bisa memicu ketidakstabilan berikutnya," jelas dia.
Sementara itu hingga Senin (24/12) merujuk pada data dari Badan Nasional Penanggulangan (BNPB) korban meninggal akibat tsunami di Selat Sunda bertambah menjadi 281 jiwa. Selain itu korban luka-luka juga bertambah menjadi 1.016 jiwa dan sebanyak 57 orang masih dinyatakan hilang.
“Jumlah pengungsi juga bertambah menjadi 11.687 orang. Kerusakan fisik meliputi 611 unit rumah rusak, 69 unit hotel-vila rusak, 60 warung-toko rusak, dan 420 perahu-kapal rusak,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangannya, Senin (24/12).