Rabu 19 Dec 2018 14:41 WIB

KPK: Pemprov DKI tak Maksimal Tarik Pajak Daerah

KPK sudah melakukan pendampingan untuk Pemprov DKI.

Ketua KPK Agus Rahardjo (kanan) berbincang dengan Wakil Ketua Saut Situmorang (kiri) di sela memberikan konferensi pers terkait laporan capaian dan kinerja KPK tahun 2018 di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/12/2018).
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Ketua KPK Agus Rahardjo (kanan) berbincang dengan Wakil Ketua Saut Situmorang (kiri) di sela memberikan konferensi pers terkait laporan capaian dan kinerja KPK tahun 2018 di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK menilai pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta belum maksimal dalam menarik pajak daerah. Termasuk, pajak reklame.

"KPK mencermati jumlah pajak daerah belum maksimal diterima oleh Pemprov DKI Jakarta. Padahal di Jakarta, dalam tahun 2018, sebesar Rp 38,12 triliun dari anggaran belanja atau 48,76 persen dari total APBD dibiayai dari pajak daerah," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Rabu (19/12).

Agus menyampaikan hal itu dalam konferensi pers akhir tahun Kinerja KPK 2018 yang dihadiri empat pimpinan KPK Agus Rahardjo, Saut Situmorang, Laode M Syarif, Alexander Marwata. Selain itu, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, Deputi Bidang Informasi dan Data (Inda) Hary Budiarto, Deputi Bidang Pengawasan Internal, Pengaduan Masyarakat (PIPM) Herry Muryanto dan Kabiro KPK Febri Diansyah.

"Kami sebenarnya sudah melakukan pendampingan ke pemprov DKI Jakarta itu sejak masih zamannya Pak Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) sampai zamannya Pak Djarot dan masih berlanjut, peningkatan penambahan pendapatan daerah dari sisi reklame saja dari yang tadinya kurang dari Rp 1 triliun jadi sekitar Rp 4,9 triliun, itu karena pendampingan KPK dan pendampingan itu berlanjut sampai sekarang sekarang," ungkap Laode M Syarif.

Menurut Agus, permasalahan mendasar di pemprov DKI Jakarta antara lain ketidakpatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya, wajib pajak enggan memberikan data transaksi, ketiadaan sistem data dan informasi yang menjadi basis "data monitoring" potensi pajak (fiscal cadaster). Selain itu, perilaku buruk dan kerusakan moral dalam pembayaran pajak, seperti pemalsuan, penghindaran, dan lain sebagainya serta kesulitan dalam pembayaran pajak. Pembayaran pajak juga belum menjadi persyaratan dalam pemberian izin (tax clearance).

"Besarnya potensi penerimaan yang tidak masuk ke kas daerah jika tidak dilakukan perbaikan sistem menyeluruh, maka potensi peningkatan penerimaan pajak DKI sebesar Rp 4,9 triliun dari hasil pendampingan KPK di 2017 akan hilang," ungkap Agus.

Karenanya, pada 2018, untuk lebih mengoptimalkan penerimaan pajak DKI, KPK mendorong perbaikan sistem dengan penerapan "tax clearance". Aturan itu mewajibkan kepada Wajib Pajak untuk menyelesaikan tunggakan pajak daerah saat mengajukan permohonan perizinan atau Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) tidak akan melayani permohonannya.

Pada 2018, KPK menemukan dari 295 tiang tumbuh hanya 5 di antaranya yang memiliki izin. Potensi "moral hazard" dan pembiaran karena kebuntuan komunikasi antara dinas dan pihak terkait lainnya yang mengakibatkan tidak terpungutnya pajak reklame.

"Sekurangnya potensi pajak reklame yang dapat disetorkan ke kas daerah dengan tarif minimal Rp450 juta/tahun, maka sebesar Rp130 miliar/tahun tidak terpungut padahal pajak reklame merupakan salah satu sumber pendapatan penting bagi Jakarta" tegas Agus.

Pajak reklame menyumbang sekitar 3 persen total Pendapatan Asli Daerah (PAD) pemprov Jakarta. "KPK juga mendorong Pemprov DKI untuk mengembangkan sistem pengawasan reklame berbasis teknologi informasi dalam hal pendataan dan untuk memperkuat pengawasan oleh masyarakat, maka data tersebut dibuka ke publik," ungkap Agus.

Agus juga meminta agar data titik reklame dari BPRD (Badan Pajak dan Retribusi Daerah), PTSP, Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan, serta Satpol PP dapat direkonsiliasi, direkam titik koordinatnya dan dilengkapi dengan metadata.

"Selanjutnya kami akan melakukan pendampingan untuk peningkatan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) berkaitan dengan air tanah dan akan tetap berlanjut meski belum maksimum di pemprov Jakarta serta provinsi lain yaitu Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan," tambah Laode.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement